TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Abu Rusydan, sosok yang pernah berstatus terduga teroris mempertanyakan alasan pemerintah ingin melakukan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Menurut Abu, rencana revisi Undang-Undang tersebut sedikit janggal ketika Indonesia mendapat pujian dari sejumlah negara terkait pemberantasan teroris, bahkan negara di Timur Tengah ingin belajar dari Indonesia.
"Tentu kalau berhasil tak perlu berubah dalam kaidah manajemen. Nah ini kok berubah? Bisa jadi ada agenda tersembunyi, masalah besar ini bisa menyesatkan publik," ujar Abu dalam sebuah diskusi yang digelar di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta, Sabtu (16/2/2016).
Selain itu, menurut Abu, pelaksana atau aparat kepolisian selama ini tidak banyak menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme tersebut dalam penindakannya.
"Kasus Ikhwan Ikhwanundin meninggal dalam pemeriksaan. Lalu pas pengambilan barang bukti, masa awal, tidak ada tanda penyitaan. Kalau UU tidak pernah diterapkan apa makna revisi?" kata Abu.
Abu sendiri mengaku pernah merasakan bagaimana Densus 88 tidak mengindahkan Undang-Undang tersebut yang seharusnya menjadi payung hukumnya.
Abu bercerita, pada 23 April 2003 silam, saat itu, ia dituduh menyembunyikan informasi keberadaan pelaku bom Bali, Mukhlas.
Ketika ditangkap, polisi tidak memberinya surat penangkapan dan baru diserahkan tatkala ia ditahan.
"Saya korban Densus 88, pada waktu ditangkap pakai Perppu Oktober 2002 yang sekarang jadi UU 15 tahun 2003. Saya ditangkap 23 April 2003, dituduh menyimpan Mukhlas, tapi pas ditangkap tidak diberi surat," kata Abu.