TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegiat antikorupsi menilai jauh lebih penting dan mendesak jika pemerintah dan DPR membahas perlindungan terhadap komisioner dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketimbang DPR menghabiskan energi dan waktu untuk merecisi UU KPK.
Pendapat itu dikemukakan peneliti Indonesia Legal Rountable, Erwin Natosmal Oemar.
"Soal perlindungan komisioner dan penyidik KPK. Agar serangan balik koruptor tidak terulang seperti sekarang ini," ujar Erwin kepada Tribun, Selasa (16/2/2016).
"Maka negara harus memberikan proteksi secara terbatas kepada mereka," dia menambahkan.
Selain itu, menurutnya, revisi KUHAP yang sudah usang dan tidak sesuai dengan integrated justice sistem.
Sebelumnya diberitakan, naskah akademik dan draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak sinkron.
Sejumlah perubahan yang diatur dalam naskah akademik berbeda atau bahkan tidak ada dalam draf yang kini telah disepakati oleh DPR saat ini.
1. Penyadapan
Pada naskah akademik yang diperoleh Kompas.com dari Badan Legislasi DPR, Selasa (16/2/2016), disebutkan bahwa izin penyadapan yang dilakukan KPK harus melalui ketua pengadilan.
Hal ini untuk mencegah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penyadapan yang dilakukan KPK.
Penyadapan dilakukan terhadap pihak-pihak yang belum dilakukan proses pro justicia atau proses penyidikan.
Padahal, draf RUU KPK Pasal 12 yang sudah disepakati saat ini mengatur bahwa penyadapan harus seizin dewan pengawas.
2. Penuntutan
Dalam naskah akademik masih diatur kewenangan penuntutan KPK. Dijelaskan bahwa penuntutan yang selama ini sudah menjadi salah satu kewenangan KPK perlu dihilangkan dan dikembalikan menjadi kewenangan kejaksaan.
Dengan begitu, tidak terjadi tumpang tindih antara KPK dan kejaksaan.
Sementara, dalam draf RUU yang sudah disepakati sejauh ini, tak diatur mengenai wewenang penuntutan KPK.
3. Pelimpahan Kasus
Dalam naskah akademik juga masih diatur mengenai pelimpahan kasus dari KPK kepada Kepolisian atau Kejaksaan.
Pelimpahan ini dilakukan apabila kasus yang ditangani KPK ternyata memiliki kerugian negara kurang dari Rp 1 miliar.
Sementara, Pasal 11 huruf c UU KPK mengatur bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang menyakut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
Dalam draf RUU yang sudah disepakati sejauh ini, tak diatur mengenai wewenang pelimpahan kasus oleh KPK.