Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penolakan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) semakin santer.
Baik dari kalangan akademisi, tokoh lintas agama, serta organisasi masyarakat menyuarakan kata yang sama 'Tolak Revisi UU KPK'.
Begitu juga dengan Koordinator Gerakan Independen Perlawanan Sipil (GIPSI), Riyanda Barmawi.
Menurut Riyan, revisi UU KPK yang saat ini dibahas DPR akan mengebiri kewenangan KPK.
Sebagai penerus generasi bangsa, Riyan mengajak elemen mahasiswa menjadi garda terdepan melawan segala bentuk pendzaliman terstruktur oleh pelaku Negara di tengah maraknya perilaku koruptif di Indonesia.
“Siapapun yang berani mengutak-atik kewenangan KPK yang menjurus pada pelemahan adalah musuh kita bersama,” kata Riyan kepada Tribun, Minggu (21/2/2016).
Berdasarkan kajian GIPSI, pasal pelemahan KPK di antaranya terdapat dalam Pasal 5 yang membatasi usia KPK hanya 12 tahun setelah undang-undang ditetapkan.
Kemudian Pasal 7 huruf d, yang tidak memberikan kewenangan penuntutan, dan Pasal 13 huruf b yang memberi kewenangan penuntutan kasus di atas Rp 50 miliar, dari sebelumnya Rp 5 miliar.
“Pelemahan lain adalah penyadapan dan penyitaan KPK juga harus melalui izin Ketua Pengadilan Negeri,” jelasnya.
Dia pun mengingat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan banyaknya penolakan dari masyarakat mengenai revisi UU KPK.
GIPSI meminta Presiden Jokowi untuk tidak diam terhadap persoalan itu.
Pasalnya, Presiden sangat perhatian dengan kepentingan publik dan penguatan KPK.
"Kami meminta Presiden Jokowi tidak keluarkan surat persetujuan pembahasan. Komitmen Jokowi untuk tidak revisi harus diwujudkan kepada publik," kata Riyan.