TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana reformulasi sistem pembangunan nasional dengan merevitalisasi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditanggapi santai oleh anggota Komisi II DPR, Luthfi A. Mutty.
Itikad politik itu, menurutnya butuh waktu sangat panjang untuk merealisasikannya.
Proses yang tengah dijalani saat ini baru tahap permulaan, yakni pengumpulan materi dan penggalian pendapat akademisi. Momentum untuk menempatkan revitalisasi GBHN sebagai sebuah wacana nasional yang masif masih sangat jauh.
Terlebih lagi, jika wacana itu bersambut dengan opini publik, masih diperlukan energi sangat besar untuk mengawalnya.
Diperlukan kohesi sinergis antara pemerintah, DPR, MPR dan segenap kelompok kepentingan guna mewujudkan itikad revitalisasi GBHN tersebut.
“Kalau wacana itu terealisasi, tentunya akan sangat banyak pekerjaan,” ungkap legislator dari Sulawesi Selatan ini melalui pesawat telepon, Kamis (25/2/2016).
Ketika ditanya mengenai sikapnya terhadap revitalisasi GBHN, anggota Fraksi Partai NasDem ini bergeming. Baginya, yang lebih tepat saat ini bukanlah pernyataan setuju atau tidak setuju atas penerapan kembali GBHN itu.
Kurang tepat juga menurutnya, kalau kita sibuk mempertanyakan kesesuaian GBHN dengan sistem presidensial. Yang lebih substantif menurutnya, yakni konsistensi sikap politik dalam memilih sistem pemerintahan Indonesia. Sebagaimana diketahui, praktik politik negara-negara dunia mengenal dua sistem pemerintahan, yakni sistem presidensialisme dan parlementarian.
“Persoalannya, Indonesia ini tidak konsisten, mau presidensial tapi rasa parlemen,” tandas mantan Bupati Luwu Utara ini.
Dalam analisanya, Indonesia sedang mencoba meramu kedua sistem pemerintahan itu dengan cita rasa domestik. Pasalnya, menurut Luthfi hanya Indonesialah yang menerapkan sistem presidensial, tapi juga mempertahankan kekuatan koalisi dan oposisi. Dia mengajak publik menengok praktik di negeri kelahiran presidensialisme, Amerika Serikat.
Praktik politik di sana tak kenal model oposisi dan sistem multi partai, karena dua istilah itu hanya diterapkan oleh sistem parlementarian. Tak hanya itu, menurut Luthfi Indonesia juga satu-satunya negara di mana DPR bisa sewaktu-waktu memanggil para menteri.
“Jadi kalau saya bilang ini Indonesia sedang menerapkan sistem pemerintahan Sambalado, campur-campur,” kelakarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, GBHN yang merepresentasikan mimpi negara dalam perencanaan jangka pendek hingga jangka panjang, hanya kompatibel dengan model parlementarian. Dalam konteks itu presiden tak dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu, tapi diangkat oleh MPR selaku lembaga tertinggi negara. Karena itulah, MPR menitahkan GBHN agar diemban oleh presiden.
Sebaliknya, dalam sistem pemerintahan presidensialisme, seorang presiden tak butuh GBHN karena eksekutif memiliki hak prerogatif dengan otoritas kebijakan yang luas. Dengan berbagai pertimbangan itu, Luthfi A. Mutty mengingatkan seluruh elemen masyarakat untuk konsisten menyusun sistem ketatanegaraan kita.
“Pilih salah satu, atur semua aspek yuridisnya untuk membentuk negara yang sesuai dengan sistem yang sudah kita pilih,” tutupnya.
Penulis: Yulis Sulistyawan