Lebih lanjut Haris mengatakan, fakta-fakta rekayasa seperti ini yang semestinya juga dipertimbangkan oleh MA.
Untuk itu dirinya menyarankan agar pengacara terdakwa melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK).
"PK menjadi tak terhindarkan untuk ditempuh," kata Haris.
Haris memang tidak sedang membela terdakwa kasus JIS. Dia bersama KontraS sudah membuktikan bahwa kasus JIS sangat sarat dengan rekayasa.
KontraS sejak Juni 2015 melakukan eksaminasi bersama Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI). Eksaminasi dilakukan karena keluarga tersangka melakukan pengaduan terkait adanya dugaan penyiksaan dan rekayasa kasus selama proses penyelidikan terhadap para tersangka.
Dari hasil eksaminasi, KontraS menemukan setidaknya tiga pelanggaran, di antaranya pelanggaran terhadap hukum formil, tidak terpenuhinya hukum materiil, dan tidak terlindunginya kepentingan anak.
Sejak proses penangkapan, para tersangka mengalami praktek penyiksaan guna mendapatkan pengakuan serta adanya pelanggaran prosedur dalam penetapan tersangka. Penetapan tersangka juga tampak sangat dipaksakan karena sumirnya tuduhan-tuduhan terhadap keduanya.
KontraS juga menilai bukti pendukung lemah serta proses rekonstruksi menyalahi aturan karena si anak yang dikatakan korban diarahkan oleh ibunya dan aparat kepolisian.
KontraS menemukan telah terjadi pelanggaran hak anak dalam kasus tersebut. Sebab cenderung dipaksakan untuk memenuhi tekanan publik atas substansi peristiwa pidana. Tujuannya agar terlihat kekerasan seksual terhadap anak benar-benar terjadi di sekolah tersebut.
"Dalam eksaminasi kami, sebetulnya ada yang bisa dikembangkan untuk PK misalnya keterangan lanjutan dari si anak," jelasnya.
Selain itu, KontraS juga menilai, bahwa pasal yang didakwakan kepada para terdakwa tidak kuat.
Keterangan ahli maupun hasil visum yang membuktikan adanya kekerasan seksual pun diragukan karena ada fakta lainnya yang muncul tetapi tidak pernah dijadikan pertimbangan oleh penuntut maupun majelis hakim.