Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Haryadi Budi Kuncoro, Senin (14/3/2016) memenuhi panggilan Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri.
Panggilan ini merupakan pemeriksaan perdana Haryadi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan 10 mobile crane di PT Pelindo II.
Pantauan Tribunnews.com, adik mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto tersebut hadir memenuhi panggilan didampingi kuasa hukumnya, Heru Widodo.
Tidak banyak pernyataan yang disampaikan Haryadi kepada awak media.
"Saya sebagai kuasa hukum, mendampingi Pak Haryadi untuk memenuhi panggilan penyidik. Ini itikad baik kami, kami mau mencoba klarifikasi hal-hal yang kiranya perlu diklarifikasi, yang penyidik belum punya," kata Heru Widodo di Mabes Polri.
Sementara Haryadi enggan menanggapi menegani pemeriksaan yang akan dijalaninya.
Ia mengaku baru akan berbicara setelah dirinya diperiksa penyidik.
"Tanya pengacara saya saja. Pokoknya selesai pemeriksaan nanti dijelaskan ke media. Soal pengadaan itu nanti pas penyidikan," kata Haryadi.
Sebelumnya, surat panggilan sudah lebih dahulu dikirimkan pada Kamis (10/3/2016).
Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Kombes Pol Agung Setya enggan membeberkan materi pertanyaan karena itu merupakan teknis penyidikan.
Agung melanjutkan seluruh proses pengadaan di PT Pelindo II erat kaitannya dengan dua tersangka yang telah ditetapkan yakni mantan Direktur Teknik Pelindo II, Ferialdi Nurlan (FN) dan Haryadi Budi Kuncoro (HBK).
Meskipun keduanya telah berstatus tersangka, namun penyidik tidak melakukan penahanan.
Agung juga mengklaim memiliki lebih dari dua alat bukti untuk bisa menetapkan Haryadi sebagai tersangka.
Terkait peran Haryadi, Agung menuturkan dalam kasus ini, ia ikut membantu untuk masukkan pengadaan mobile crane yang belum ada kajiannya ke dalam rencana anggaran.
"Termasuk dia juga yang menentukan spek mobile crane, HBK ini bawahan dari tersangka FN," tambah Agung.
Dalam kasus ini, Bareskrim telah menerima hasil audit investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Diperkirkaan kerugian negara (PKN) akibat kasus tersebut sebesar Rp 37,9 miliar.