News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pengamat UIN Nilai Ban Ki-moon Membahayakan Perdamaian Dunia

Penulis: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sekjen PBB Ban Ki-moon.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Sekjen PBB Ban Ki-moon terkait status Sahara Barat patut disesalkan.

Pernyataan Ban Ki-moon pun dinilai tidak menghormati proses pembicaraan damai yang sedang berlangsung untuk menyelesaikan sengketa itu di forum-forum PBB yang dipimpinnya.

Ketika berkunjung ke kamp Tindouf di Aljazair (Sabtu, 5/3/2016), Ban Ki-moon menggunakan istilah pendudukan (occupation) Maroko di Sahara Barat.

selain itu ia pun meminta agar digelar referandum di wilayah yang disengketakan itu.

Pernyataan diplomat senior Korea Selatan itu disambut protes keras pemerintah dan rakyat Maroko.

Minggu (13/3/2016), tak kurang dari tiga juta rakyat Maroko dari berbagai partai politik dan organisasi kemasyarakatan menggelar protes di Rabat.

Pernyataan Ban Ki-moon tersebut dianggap berlawanan dengan keinginan PBB menyelesaikan sengketa ini secara damai lewat berbagai forum sejak pembicaraan damai di Manhasset, New York, pada tahun 2007, hingga sekarang.

Selain itu, ha tersebut pun dianggap menabrak misi Pasukan Penjaga Perdamaian PBB Minurso di kawasan itu.

Hal ini disampaikan pengamat hubungan internasional dari FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Teguh Santosa, dalam keterangan yang diterima wartawan.

Teguh Santosa mengikuti dari dekat sengketa wilayah ini.

Dia secara khusus mempelajarinya saat menuntut ilmu di University of Hawaii at Manoa (UHM), Amerika Serikat, pada tahun 2007.

Di tahun 2010 Teguh mengunjungi wilayah yang disengketakan tersebut dan melihat langsung kehidupan di kawasan Sahara.

Pada tahun 2011 dan tahun 2012 Teguh juga diundang Komisi IV PBB yang menangani masalah politik khusus dan dekolonisasi untuk menyampaikan pendapatnya terhadap sengketa ini di Markas PBB di New York.

Sengketa Sahara Barat berawal dari keinginan Maroko menyatukan kembali wilayah yang sempat dibelah dua negara Eropa, Prancis dan Spanyol dalam Perjanjian Fez 1912.

Di dalam perjanjian itu, Prancis menjadikan wilayah utara Maroko sebagai kawasan yang mereka lindungi (protectorate) sampai bulan Mei 1956.

Sementara Spanyol menjadikan wilayah selatan Kerajaan Maroko sebagai koloni atau daerah yang dijajah sampai mereka angkat kaki pada pertengahan 1975 menyusul krisis ekonomi di dalam negeri.

“Saat Maroko ingin menyatukan kembali wilayahnya, setting politik global sudah berubah."

"Dunia berada di tengah Perang Dingin antara blok Timur dan blok Barat yang masing-masing ingin mempertahankan dan memperluas wilayah pengaruh,” ujar Teguh.

Ketika itu, Aljazair yang bergabung dengan blok Timur berusaha untuk mendapatkan wilayah yang baru ditinggalkan Spanyol sehingga bisa memiliki pengaruh dan akses ke Samudera Atlantik.

Untuk mencapai keinginan tersebut, Aljazair sejak 1973 secara aktif memberikan dukungan kepada kelompok Polisario yang mereka tampung di kamp Tindouf di Aljazair.

Di Tindouf, Polisario berkuasa dan mendeklarasikan Negara Demokratik Arab Sahrawi, dan sejak itu melakukan kampanye untuk mendapatkan pengakuan internasional.

Maroko sempat terlibat dalam konflik bersenjata dengan Polisario dan Aljazair, hingga gencatan yang ditandatangani pada 1991.

“Sejak gencatan hingga 1994 dilakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan sengketa, lalu mandek, dan kembali dibuka pada tahun 2007 hingga sekarang,” kata Mantan Ketua bidang Luar Negeri PP Pemuda Muhammadiyah ini.

PBB meminta para pihak yang bersengketa untuk menyampaikan proposal demi mengakhiri sengketa.

Maroko mengusulkan otonomi khusus sebagai jalan keluar.

Sementara Polisario dan Aljazair di belakangnya meminta referandum.

“Dalam catatan resminya, PBB menilai bahwa poroposal otonomi khusus dari Maroko merupakan solusi yang serius dan credible untuk menyelesaikan sengketa."

"Proposal otonomi khusus ini pun mendapatkan dukungan dari semua negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB,” kata Teguh.

Dia mengatakan, bahwa kritik yang disampaikannya ini ditujukan untuk Ban Ki-moon secara pribadi, bukan kepada PBB sebagai sebuah lembaga internasional yang memiliki peran agung menjaga perdamaian dunia.

Pernyataan Ban Ki-moon secara pribadi memperlihatkan ketidakmampuan mengikuti proses perdamaian atau bisa jadi merupakan pembangkangan serius terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai Sekjen PBB.

Dengan demikian, sambung Teguh, Ban Ki-moon bukan saja menjadi masalah bagi Maroko dan proses perdamaian di Sahara Barat.

Pernyataannya blunder seperti itu bisa diulangi di tempat-tempat lain yang sedang mengalami konflik atau rawan konflik.

Pada gilirannya, Ban Ki-moon bisa membahayakan perdamaian dunia.

Terlebih posisi Ban Ki-moon sebagai Sekjen tentu memiliki arti yang sangat seriu

“Bayangkan juga bila Ban Ki-moon datang ke Indonesia atau ke negara tertentu di kawasan Pasifik, dan lalu memberikan pernyataan blunder terkait status Papua, misalnya."

"Bila ini terjadi dan melihat apa yang terjadi di Afrika Utara, hal ini mungkin terjadi, Indonesia akan menghadapi persoalan besar terkait keutuhan teritori NKRI," kata Wakil Rektor Universitas Bung Karno itu.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini