TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pimpunan Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) Santoso, dikabarkan makin terjepit. Untuk melumpuhkan kelompok teroris yang terkenal licin itu Polri meminta bantuan TNI dalam operasi Tinombala.
Setelah sekian lama operasi perburuan Santoso cs berlangsung, keberuntungan mulai berpihak pada TNI-Polri. Polri mengklaim Santoso dan anak buahnya mulai terdesak serta kerap mendapat serangan dari tim gabungan.
Puluhan anggota kelompok MIT pun dipastikan tewas saat terjadi baku tembak di lokasi persembunyiannya. Hanya saja, medan yang curam dan cuacanya yang buruk menjadi penghalang tim gabungan TNI-Polri menangkap para teroris tersebut.
"Dari mulai awal Februari mereka sudah terjepit, cuma memang situasi medan itu yang kita belum bisa, mudah-mudahan dalam waktu dekat," kata Kasatgas operasi Tinombala Kombes Pol Leo Bona Lubis, Rabu (16/3).
Leo Bona mengatakan saat ini jumlah anggota kelompok Santoso mulai berkurang. Diperkirakan, total anggota dari kelompok teroris itu sekitar 30 orang. "Kita tidak bisa memastikan, tapi perkiraan itu di antara 25 sampai 30 orang tinggal," ia memastikan.
Santoso juha memiliki nama Abu Wardah Santoso yang hingga kini menjadi momok bagi Polri apalagi, ribuan anggota Polri sempat dikerahkan untuk menjaga gereja-gereja, bandar udara dan ruang publik lain selama perayaan Natal akhir tahun kemarin.
"Kami memiliki laporan rinci intelijen mengenai potensi serangan kelompok radikal dalam waktu dekat," ujar Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan beberapa waktu lalu.
Kapolri Badrodin Haiti saat masih menjabat sebagai Wakapolri mencurigai, Santoso dan kelompoknya Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menjalin hubungan dengan Islamic State-ISIS. Sepak terjang MIT juga diyakini dibiayai oleh ISIS.
"Kami punya data orang-orang yang terkait dengan terorisme di Indonesia," tutur Haiti saat itu.
Densus 88 mencatat Santoso menjadi dalang sejumlah aksi teror yang terjadi beberapa waktu lalu. Diantaranya, penembakan polisi di Pondok Aren, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Selain itu, Santoso juga diyakini membuat aksi teror di Poso.
Badrodin Haiti ketika itu juga mengungkap, sebelum masuk ke dalam jaringan teroris, Santoso adalah penjual buku-buku Islami di Jalan Tamborana. Lokasi kios itu di pinggir jalan.
Santoso, pada waktu itu, aktivitasnya sebagai penjual buku, tidak bisa ditangkap karena belum terbukti melakukan aksi teror. Kendati Badrodin tetap mencurigai bahwa si penjual buku tersebut terindikasi masuk ke dalam jaringan terorisme.
Saat itu, menurut Badrodin, kelompok garis keras masih melekat dan berbaur di antara masyarakat Poso, bukan hanya Santoso saja. Mereka menguasai masjid-masjid dan mempengaruhi para ulama.
Pada suatu operasi, dikemukakannya, dari 80 orang yang tertangkap karena dicurigai telah direkrut untuk menjadi teroris, separuh diantaranya dilepaskan karena dinilai hanya ikut-ikutan dan tidak terbukti. "Di sana disebutnya 'anak bebek', itu yang masih ikut-ikutan, tapi justru sekarangnya berperan," katanya.
Badrodin mengaku tidak kaget saat mengetahui penjual buku itu kemudian terbukti terjun ke dalam salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) di dunia, dan bahkan berani menampakkan wajahnya di laman Youtube itu. (tribunnews.com/kompas.com)