TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Politikus PDI Perjuangan, Puti Guntur Soekarno punya kesan tersendiri terhadap RA Kartini. "Ada sebuah kutipan syair terkenal di Inggris, man works from rise to set of sun, women's work is never done," kataya di Jakarta, Kamis (21/4/2016).
Menurut Puti, dari sejumlah surat korespondensi Kartini dengan Abendanon, dia terkesan pada satu surat dengan kalimat.
"Ibu Kartini menulis; saya mohon kepada Anda untuk memberikan kesempatan bagi kaum perempuan pribumi untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan, bukan dalam rangka untuk menyaingi kaum laki-laki, melainkan untuk lebih menyempurnakan perannya pada peradaban," ungkap Puti.
Untaian kalimat itu memberi pelita bagi gerakan perempuan dan emansipasi di Indonesia. Kesetaraan gender telah menjadi konsumsi publik, kadang dimaknai sebagai kehendak atas persamaan hak antara kaum laki-laki dan perempuan (egalitarian).
Namun, kata Puti, sesungguhnya pelita itu turut menyempurnaan hadirnya peran perempuan pada peradaban (emansipatoris), sebuah tahapan yang lebih tinggi lagi dari persamaan.
"Gerakan emansipatoris memberi terang jalan bagi peran perjuangan kaum perempuan untuk dalam pembangunan bangsa Indonesia. Kita kaum perempuan dapat menikmati pengakuan dan pemenuhan hak-hak atas jabatan di pemerintahan, yang setara dengan kaum laki-laki," katanya.
Kuota wakil rakyat dari unsur perempuan dihormati, bahkan kaum wanita bisa meraih kedudukan sangat terhormat sebagai Presiden RI.
"Bahkan, kami bersyukur bangsa Indonesia mampu menunjukkan kepada dunia bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin negara yaitu saat Ibu Megawati Soekarnoputri menjadi orang nomor satu di Indonesia sebagai Presiden perempuan pertama di Indonesia," kata Puti.
Puncak jabatan yang bisa didaki dan digapai kaum perempuan, sejatinya bukanlah esensi perjuangan Kartini.
Kehendak agar perempuan mendapatkan pendidikan dan pengetahuan, diutamakan bukan untuk menyaingi kaum laki-laki, akan tetapi lebih untuk menyempurnakan perannya pada peradaban dan kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Kemuliaan kalimat inilah yang, suka tidak suka, acap ditafsir secara keliru.Pemaknaan Hari Kartini, katanya lagi, bukan lagi kepada hakikat penyempurnaan peran perempuan pada peradaban, melainkan pada aktivitas seremonial.
"Kajian ilmiah atas statistik angka perempuan yang berpendidikan dan berpengetahuan, disandingkan dengan perannya pada peradaban bangsa menjadi tidak lagi terukur," katanya.
Bukankah, kata Puti itu pesan moral dari surat-surat Kartini? "Celakanya, ketiadaan guideline atas peran perempuan pada peradaban bangsa tadi menjadikan peringatan hari Kartini dari tahun ke tahun, perlu pencerahan kembali," ujar Puti.
"Kita tidak lagi heran mendengar seorang anak atau remaja melempar jawab, hari berkebaya, ketika ditanya, apa makna hari Kartini bagimu? Hal itulah yang terjadi, mana kala bangsa ini meninggalkan sejarah," tambah Puti.
Padahal, kata Puti, Bung Karno sejatinya sudah melakukan kajian mendalam atas surat-surat Kartini, kemudian menurunkannya dalam enam buah artikel tentang perempuan Indonesia dalam buku berjudul, Sarinah.
Catatan-catatan Soekarno tentang perempuan itu, bahkan sudah dijadikan bahan ajar dalam kursus-kursus perempuan di awal kemerdekaan.
Buku Sarinah terbit pertama kali tahun 1947, itu terdiri atas 6 bab, setebal 329 halaman. Bab 1 - Soal Perempuan; Bab 2 - Laki-laki dan Perempuan; Bab 3 - Dari Gua ke Kota; Bab 4 - Martiarchart dan Patriarchat; Bab 5 - Wanita Bergerak; dan Bab 6 - Sarinah dalam Perjoangan Republik Indonesia.
Buku Sarinah karya Bung Karno adalah lampu pijar bagi bangsa ini untuk memahami posisi kaum perempuan Indonesia.
"Bung Karno berupaya mengungkapkan makna kemerdekaan dan kesetaraan perempuan ala Indonesia, bukan yang lain. Bung Besar menentang keras pergerakan feminisme Eropa yang menurutnya, mau menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki (hal. 11)," kata dia.
Bung Karno, kata Puti, lebih mendukung gagasan Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, meski jangan pula terikat oleh paham konservatif. "Melainkan mencocokkan segala hal sesuai dengan kodratnya," katanya.
Bagi Bung Karno, berbicara tentang kesetaraan perempuan maka bicara kesetaraan dalam segala aspek, namun juga tidak berarti sekaligus menyamaratakan perempuan begitu saja dengan laki-laki.