TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti memastikan, tim personel satuan tugas gabungan dari Bareskrim, Bagintel Polri dan personel Densus 88 anti-teror yang ditunjuk Polri telah siaga di daerah Nunukan, Kalimantan Timur.
Sementara itu, militer Filipina juga memastikan telah menambah pasukan untuk menyerang Abu Sayyaf.
Militer Filipina mengaku tak peduli soal deadline tebusan baru yang ditetapkan oleh kelompok Abu Sayyaf.
Pihaknya akan langsung menyerang kelompok tersebut seketika informasi soal keberadaan mereka dan sanderanya telah ditemukan.
"Kami tak peduli soal deadline tebusan, mau itu semakin dekat atau tidak," kata Juru Bicara Kemiliteran Mindanao Barat, Mayor Filemon Tan, Rabu (20/4/2016).
"Jika informasi soal mereka telah didapat, pasukan kami akan langsung menyerang mereka," tambahnya, dikutip Philippine Star.
Ia mengatakan pasukannya telah berupaya sebaik mungkin untuk menyelamatkan sandera.
"Kami tidak akan beristirahat dan menyia-nyiakan waktu, sebab kami tahu situasi apa yang sedang terjadi," ucap Tan lagi.
Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kapolri menegaskan selain tim gabungan dari Bareskrim, Bagintel Polri dan personel Densus 88 anti-teror yang siaga di daerah Nunukan, Kalimantan Timur, Polri juga membentuk tim satgas Bareskrim yang terdiri dari dua tim.
Tim pertama ditempatkan di Nunukan dan tim kedua berada di Jakarta dengan dukungan dari tim IT Divisi Cyber Crime Mabes Polri.
"Mereka siap bergerak apabila ada perintah lebih lanjut," kata Badrodin.
Sementara itu dari sisi eksternal, kata Badrodin, atase kepolisian Indonesia di Filipina juga sudah melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian Filipina untuk memetakan keberadaan kelompok Abu Sayyaf.
"Kami tidak bisa bergerak lebih jauh karena terkendala oleh konstitusi Filipina yang mensyaratkan adanya perjanjian yang harus ditandatangani dan persetujuan dari parlemen untuk melakukan tindakan dari otoritas asing di wilayah Filipina," ungkap Badrodin.
Sebelumnya, pada 29 Maret 2016, Kapolri telah mengeluarkan surat perintah untuk membentuk tim gabungan dari Bareskrim Bagintel dan Densus 88 untuk melakukan pelatihan, kerja sama, koordinasi, monitoring dan analisis secara dengan Polda Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan unsur terkait lain.
Hal tersebur dilakukan untuk mendukung kelancaran upaya pembebasan 10 warga negara Indonesia yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina.
Sementara kelompok Abu Sayyaf telah menetapkan deadline baru terkait tebusan untuk tiga sanderanya yang berasal dari Kanada dan Filipina.
Kelompok tersebut mengancam akan memenggal ketiga sandera jika uang tebusan tak dipenuhi lagi, selambatnya 25 April mendatang.
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris berharap agar seluruh WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf bisa segera kembali dengan selamat ke Indonesia.
Ia juga mengharapkan, rencana perusahaan pelayaran membayar tebusan kepada para perompak seharusnya tidak perlu dilakukan.
"Setidaknya tidak seharusnya diumumkan ke publik oleh Menkopolhukam yang membuat seolah-olah pemerintah RI mendukung rencana pembayaran tebusan," ujar Charles.
Membayar tebusan kepada kelompok teroris yang melakukan penculikan, Charles menegaskan kembali, bukanlah solusi.
"Hal ini akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Kelompok-kelompok kriminal seperti Abu Sayyaf akan mengulangi kembali aksi perompakan seperti ini terhadap kapal-kapal Indonesia," Charles mengingatkan.
Ia berharap pemerintah meningkatkan intensitas upaya-upaya pembebasan sandera melalui negosiasi. Kemudian melakukan operasi intelijen, bahkan operasi militer apabila diperlukan.
"Pemerintah RI harus memberikan tekanan yang lebih besar terhadap pemerintah Filipina agar segera mengizinkan aparat Indonesia untuk melakukan intelligence gathering mengenai keberadaan dan informasi lainnya," katanya.
"Terkait para sandera dan mempersilakan personel TNI untuk melakukan operasi pembebasan," ujar Charles lagi.
Ditegaskan kembali, aksi perompakan dan penculikan oleh kelompok Abu Sayyaf terhadap kapal dan warga Indonesia sudah terjadi berkali-kali.
Saat ini saja masih ada 14 WNI yang disandera oleh para kriminal ini. Publik sudah lelah dan bosan dengan retorika para pejabat negara.
"Yang ditunggu sekarang adalah langkah konkrit pemerintah untuk membebaskan para sandera dan mencari solusi permanen atas masalah perompakan," tegas Charles Honoris. (tribun/fer/ruth/yat/kcm/Philippine Star/The Standar)