TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Forum Kajian Konstitusi, Victor Santoso Tandiasa mengatakan langkah pimpinan DPD RI yang tidak mau menandatangani pengaturan masa jabatan diatur dalam tatib DPD, yang dalam aturannya masa jabatan DPD RI diubah dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun, adalah tindakan yang tepat.
Hal ini menjadi proses pembelajaran bagi anggota-anggota DPD yang tidak memahami proses bernegara yang baik dan benar.
“Jadi langkah pimpinan DPD yang tidak mau menandatangani tatib DPD RI yang akan mengatur masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun sudah tepat. Ini harus menjadi pembelajaran bagi anggota DPD karena Pimpinan DPD tidak boleh melanggar sistem peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia,” ujar Victor dalam rilis yang disampaikannya, Kamis (28/4/2016).
Menurut Victor jika melihat secara konstitusionalitas, tidaklah tepat pengaturan tentang masa jabatan pimpinan DPD diatur dalam tatib DPD RI karena jika hal tersebut diatur dalam Tatib DPD RI akan mengakibatkan ketidakstabilan prosea kepemimpinan di DPD RI.
Lagipula seharusnya dalam amanat UUD pengaturan untuk DPD dan lembaga parlemen lainnya harus diatur dalam UU dan bukan oleh tatib saja.
“Jika masa jabatan dapat diubah-ubah hanya dengan tatib seperti dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun maka bisa terjadi hal itu akan dilakukan terus dan bukan tidak mungkin masa jabatan akan tawar menawar jika pimpinan DPD dianggap tidak sesuai lagi dengan keinginan anggota.”
Dijelaskan, bukan tidak mungkin kalau diloloskan hal seperti ini terjadi, kedepan mereka meminta masa jabatan pimpinan DPD harus dilakukan setiap tahun sekali.
"Ini kan lembaga negara menjadi tidak stabil dan akan mengganggu tugas dan tanggung jawab pimpinan DPD RI,” ujarnya.
Dia pun membandingkan aturan masa jabatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Konstitusi (UUD 1945) dimana masa jabatan presiden adalah 5 tahun.
“Tentu sangatlah menurunkan derajat wibawa lembaga legislatif jika pengaturan masa jabatan Presiden diatur di UUD 1945, sementara untuk masa jabatan Pimpinan DPD (termasuk MPR dan DPR) yang merupakan primary constitutional organs hanya diatur dalam peraturan tata tertib (peraturan internal). Seharusnya pengaturan masa jabatan pimpinan MPR, DPR dan DPD paling minimal diatur dalam tingkatan undang-undang,” katanya.
MPR, DPR dan DPD, kata Victor adalah salah satu pelaku kekuasaan negara utamanya kekuasaan legislatif yang mewakili kepentingan rakyat untuk membentuk peraturan dan mengawasi pelaksanaan peraturan, kedudukan kekuasaan legislatif adalah sederajat dengan kekuasaan eksekutif yang dikepalai oleh Presiden.
“Hal tersebut diperkuat dengan pasal 22C ayat (4) yang mengatakan bahwa Susunan dan Kedudukan DPD diatur dengan UU, artinya masa jabatan pimpinan DPD seharusnya sudah masuk dalam lingkup kedudukan DPD yang diatur dalam Undang-Undang MD3,” katanya.