TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) sekaligus pengamat terorisme, Harits Abu Ulya, menduga ada alasan kuat di balik sikap pemerintah yang terkesan tertutup dalam pembebasan 10 WNI.
Dia pun berharap, publik tidak perlu mempersoalkan pemerintah yang terkesan menutup informasi detail soal pembebasan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf.
"Meski tergolong menutup informasi soal apakah hasil diplomasi atau karena ditebus, ini sangat bisa dimengerti. Mungkin ini soal reputasi dan kredibilitas Pemerintah Indonesia di samping persoalan krusial ingin menjaga hubungan baik dengan pemerintah Filipina," ujar Harits melalui pesan singkat, Senin (2/5/2016).
Harits pun mengapresiasi positif kerja Pemerintah Indonesia, Filipina, serta pihak terkait soal keberhasilan pembebasan itu.
Sebab, jika dilihat dari kompleksitas permasalahan, pembebasan 10 WNI tersebut tergolong cepat.
Harits berharap, kerja sama dan metode yang sama mampu membebaskan empat WNI yang hingga saat ini masih belum jelas keberadaannya.
Namun, kemungkinan, keempat ABK WNI tersebut diculik kelompok bersenjata di Filipina juga.
"Saya rasa peran besar operasi intelijen dari BAIS TNI bersama unsur terkait punya peran kunci dalam kasus penyanderaan kali ini," ujar Harits.
Harits mengajak publik optimistis terhadap keselamatan empat WNI yang belum dibebaskan, apalagi melihat bahwa Pemerintah Filipina juga meningkatkan operasi-operasi penumpasan kelompok Abu Sayyaf.
"Kita lihat saja beberapa hari mendatang, meski ini tidak menutup kemungkinan akan lebih sulit atau malah unpredictable karena bisa jadi kelompok penculik itu butuh tebusan dan bersikukuh harus mendapatkan tebusan, baru dia melepas sandera," ujar dia.
Sejak 26 Maret 2016, sepuluh awak kapal pandu Brahma 12 beserta muatan batubara milik perusahaan tambang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, disandera kelompok teroris Filipina, kelompok Abu Sayyaf.
Para awak kapal dan seluruh muatan batubara dibawa penyandera ke tempat persembunyian mereka di salah satu pulau di sekitar Kepulauan Sulu.
Kelompok Abu Sayyaf kemudian meminta uang tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp 14 miliar untuk membebaskan para sandera.
Kepala Kepolisian Jolo, Filipina, Junpikar Sitin mengatakan, mereka dibebaskan pada Minggu tengah hari. Beberapa orang tak dikenal mengantar semua kru kapal tunda itu ke kediaman Gubernur Abdusakur Tan Jr di Pulau Jolo di tengah hujan lebat.
Pada Minggu sore, Presiden Joko Widodo kemudian menyampaikan informasi soal pembebasan 10 WNI tersebut.
Tanpa menyebut detail pihak-pihak yang dimaksud, Presiden mengucapkan terima kasih yang besar bagi anak bangsa yang turut membantu pembebasan sandera itu. Kedua, atas nama negara, Presiden juga mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan kepada Pemerintah Filipina.
Kerja sama yang baik itu, dia melanjutkan, harus diteruskan. Sebab, masih ada empat warga negara Indonesia yang masih disandera oleh kelompok bersenjata di Filipina.
Penulis: Fabian Januarius Kuwado