TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Salah satu korban penyanderaan Abu Sayyaf, Alfian Elvis Repi, kini sudah berkumpul bersama keluarganya.
Ditemui Tribunnews.com di rumah tantenya di Jl Swasembada Barat XVII no.25, Kebon Bawang, Jakarta Utara, Alfian menceritakan kronologis penangkapan hingga akhirnya dibawa ke hutan bersama sembilan ABK lainnya.
Menurutnya, penyanderaan yang dialami olehnya tidak seperti yang ada di film-film.
"Kami diperlakukan baik di sana, mungkin keluarga mikirnya seperti yang ada di film-film, tapi nggak. Di sana kami tidak diikat, tidak dipukuli," ujarnya pada Selasa (3/5/2016).
Ia juga mengatakan 10 ABK hanya mengikuti kelompok Abu Sayyaf selama hampir dua bulan disandera.
"Apa yang mereka makan, kita makan. Apa yang mereka minum kita minum. Mereka tidur dimana, kitapun tidur di situ. Kita jalan mereka jalan, tidak ada yang diancam dan dipukul, semua diperlakukan dengan baik selama disana tanpa terkecuali," katanya.
Ia juga mengklarifikasi tidak ada pemisahan sandera antara nonmuslim dan muslim.
Dirinya hanya bersama dengan sembilan ABK dan tidak mengetahui keempat ABK lain yang ikut disandera.
"Kami dipisah karena buat proses keselamatan kita bersama. Yang dipisah itu buat yang tiga orang ini agar bisa komunikasi sama orang Indonesia, gak tahu pemerintah atau kantor," ujarnya.
Ia membantah adanya kontak senjata yang terjadi di sana.
"Tak ada kontak senjata kalau selama kita di sana. Kita berpindah dari tempat satu ke yang lain untuk menghindar," ujarnya.
Sebelum penangkapan dirinya dan sembilan yang lain di kapal Brahma, ia sudah melihat dari kejauhan ada perahu yang mendekat.
"Kira-kira sekitar pukul 15.00, itu pas jam jaga saya sebagai perwira jaga di atas. Saya sudah lihat ada perahu dari jauh, saya panggil masinis tiga, panggil kapten ke atas, saya katakan ada perahu mendekat, lalu apa tindakan kita? Awalnya mereka pakai kaos PNP (Police National Philipine), tapi saat merapat mereka langsung keluar senjata," ujarnya bercerita awal penangkapannya.
Saat pihaknya diperintah untuk menghentikan mesin kapal, hal itu langsung dituruti.
"Mereka masih di samping, dikasih kode kapal untuk berhenti, kita ikuti berhenti. Saat mereka naik, mereka semua panggil kami, disatukan, yang di bawah lagi istirahat juga dipanggil semua ke atas. Kita sempat diikat, saya diborgol sama kapten, karena mereka tak tahu cara mengoperasikan kapal, kapten bawa kapal, saya disampingnya," ujar bapak dua anak ini.
"Pas itu kita tidak ada perlawanan. Ada mungkin salah satu yang bisa kita ajak komunikasi, kita tawarkan, kita tidak akan melawan, 'kita bisa kerja sama, apa yang pak cik mau, kita ikutin, tapi bisa nggak kita dilepasin?' akhirnya dilepas borgol dan ikatannya," katanya.
Alfian juga mengatakan para penyandera memberi ABK kepercayaan.
"Kita kasih kepercayaan, kalau begitu kita lepas, tapi saya minta jangan ada yang lari. Kalau ada satu yang lari, kena tembak, sembilan lainnya juga akan sengsara," ujarnya.
Setelah itu, mereka dibawa ke hutan dan tinggal di sana.
"Mereka sempat minta nomor telepon kantor, kapten yang bisa jelasin semua. Karena proses dari pertama sampai terakhir itu dia," kata Alfian.