TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua pesawat milik maskapai Etihad dan Hongkong Airlines mengalami turbulensi di wilayah udara Indonesia di waktu yang hampir bersamaan.
Banyak korban luka-luka akibat insiden udara tersebut.
Faktor peralihan musim dan cuaca dinilai menjadi salah satu penyebabnya.
Masa peralihan musim seperti yang terjadi di Indonesia saat ini mengakibatkan adanya perbedaan suhu yang mencolok di udara.
Potensi terjadinya pesawat turbulensi diprediksi masih akan terus terjadi.
"Ini masa transisi, masa peralihan, ada perbedaan suhu yang mencolok antara siang dan malam, maka potensi turbulensi masih akan terus terjadi," kata Kepala Sub Bidang Informasi Meteorologi, Hary Tirto Djatmiko kepada Tribunnews, Sabtu (7/5/2016).
Karena adanya potensi turbulensi tersebut BMKG lanjut Hary meminta para pilot yang terbang di udara Indonesia untuk terus memberikan laporan cuacanya.
Pilot dan BMKG lanjutnya bisa saling memberikan informasi mengenai kondisi cuaca mutakhir.
"Dari regulasi penerbangan kita sudah memberikan data-data cuaca, di sisi pilot kami harapkan bisa melaporkan juga cuaca, atau istilahnya Pirates, sewajarnya saling crosscheck mengenai kondisi riilnya seperti apa saat terbang," ujar Hary.
Hary menjelaskan insiden turbulensi pesawat bisa terjadi dimana saja dan tidak hanya di wilayah Indonesia.
Ia pun memberikan beberapa pemicu terjadinya turbulensi pesawat.
Pertama, kata Hary kategori turbulensi low level, atau saat pesawat terbang rendah.
Kedua, turbulensi dekat dengan awan cumolonimbus atau saat pesawat melintas di dekat awan Cumolonimbus.
Berikutnya, turbulensi clear air atau insiden guncangan pesawat hebat di udara yang cerah dan terakhir mountain wave turbulance atau turbulensi saat pesawat dekat dengan pegunungan.
Hary menganalisis peristiwa turbulensi yang dialami pesawat Etihad lebih disebabkan karena clear air turbulance karena ketinggian pesawat Etihad berada di titik 13.000 meter atau 39 kaki.
Sementara untuk turbulensi Hongkong Airlines diduga disebabkan karena pesawat dekat awan Cumolonimbus.
"Kalau untuk yang di Sumatera ada perbedaan suhu udara di lapisan tertentu, inversi atau perbedaan suhu di bawah hangat sementara di atas dingin. Untuk yang di Kalimantan karena dekat awan CB," ujarnya.