TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jabatan baru Setya Novanto selaku Ketua Umum Partai Golkar tidak melunturkan langkah penyidik Kejaksaan Agung mengusut kasus dugaan permufakatan jahat Setya Novanto dengan pengusaha Migas Riza Chalid dan mantan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PT FI) Maroef Sjamsoeddin.
Skandal yang dikenal dengan istilah Papa Minta Saham itu akan terus berlanjut.
"Semua orang harusnya sama di muka hukum," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (17/5/2016) malam.
Arminsyah mengaku, pihaknya kesulitan menaikkan status kasus tersebut lantaran pengusaha Riza Chalid hingga kini masih berada di luar negeri.
"Ada satu lagi yang belum kami mintai keterangan," kata Jampidsus.
Selama proses penyelidikan berlangsung Kejaksaan Agung telah meminta keterangan dari beberapa pihak. Hanya Riza Chalid yang belum memberikan keterangan.
Sebagai informasi, kasus Papa minta saham mulai mencuat ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan rekaman yang dia dapat dari Maroef ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR.
MKD pun menyidangkan kasus itu. Namun, jelang putusan MKD dilakukan, Novanto memilih mundur dari Ketua DPR RI.
Peneliti Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Sunanto berharap kasus Papa Minta Saham terus berlanjut demi memenuhi keadilan.
"Agar tidak ada asumsi hukum hanya tajam ke bawah tumpul ke atas," tegas Sunanto.
Gabung Pemerintah
Peneliti Lingkar Survey Indonesia (LSI) Ardian Sopa menilai, hasil sidang paripurna Munaslub Golkar yang memutuskan Partai Golkar keluar dari KMP adalah keputusan tepat.
"Keputusan Golkar menjadi bagian dari pemerintah adalah keputusan tepat dari pada tetap berada di oposisi," ujar Ardian.
Menurut Ardian, sejak awal kemunculan dan perjalanannya, Partai Golkar selalu mendukung pemerintah. Keputusan menjadi oposisi setelah pemilu 2014 justru menimbulkan konflik internal.
"Karena di dalamnya sendiri masih banyak orang-orang yang ingin mendukung pemerintah," kata Ardian.
Selain di internal partai, kata Ardian, masyarakat dan para simpatisan juga menginginkan hal serupa.
"Maka dari itu, kalau Golkar mengingkari hal ini, maka terjadi hal seperti sekarang, yakni konflik dan turunnya (perolehan) suara karena bertentangan di dalam partai kemudian bertentangan dengan logika publik yang ingin Golkar berada di dalam pemerintah," tutur Ardian.
Golkar memutuskan keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP), koalisi bentukan pada masa Pemilihan Presiden 2014. Keputusan itu diambil saat sidang paripurna Munaslub Golkar, Senin (16/5/2016) malam.
"Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi keputusan Munas Partai Golkar tentang posisi Partai Golkar dalam Koalisi Merah Putih," kata Sekretaris Pimpinan Sidang Munaslub, Siti Aisyah.
Reposisi Golkar di dalam KMP dilakukan seiring dukungan partai berlambang pohon beringin itu kepada pemerintah.
Secara tegas, sikap itu sebelumnya telah disampaikan saat Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar awal tahun ini.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro menilai ada kesepakatan di antara bakal calon ketua umum dalam Musayawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar di Nusa Dua, Bali.
Setya Novanto memenangkan pemilihan Ketua Umum Golkar dalam Munaslub setelah sebelumnya Ade Komarudin mundur dalam putaran kedua.
"Ada kesepakatan antara caketum-caketum dan elite Golkar itu bahwa mereka sebenarnya sudah cair," kata Siti.
Menurut Siti, kesepakatan tersebut dapat dilihat dari salah satu kubu yang menyatakan pemilihan ketua umum dalam satu putaran.
"Ya sudah satu putaran cukup dan kita bisa lihat peringkatnya kok. 'Kami mendukung itu. Dan tolong kami diakomodasi,'," tutur Siti.
Siti menyebut kesepakatan ini sebagai presidium, di mana pemimpin tertinggi terdiri dari beberapa orang yang memiliki kedudukan sama.
Dalam konteks Partai Golkar, delapan calon ketua umum berkerja sama di pucuk partai berlambang beringin itu.
"Duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Cuma dia (Novanto) sebagai koordinator," ucap Siti.
Siti mengatakan, selama Setya Novanto mampu mengakomodasi semua elemen yang ada di tubuh Golkar dan tidak ada sekat-sekat kubu, Golkar akan mendapatkan kekuatannya kembali.
Menurut dia, hal itu menjadi pembeda dari ketua umum sebelumnya, Aburizal Bakrie. (tribunnews/val/kps)