TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Muhammad Nazaruddin tak rela hanya dirinya yang dijerat kasus pencucian uang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurutnya, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga harus diadili terkait kasus pencucian uang.
Nazar sapaan akrabnya menilai, korupsi dan pencucian uang yang dilakukannya melalui Permai Grup adalah perintah dari Anas.
"Kami memohon Majelis Hakim memerintahkan KPK untuk memeriksa dan menetapkan Anas dan Yulianis sebagai tersangka pencucian uang," kata penasihat hukum Nazaruddin, Andriko Saputra, saat membacakan pembelaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (25/5/2016).
Pengacara mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini menilai, dari fakta persidangan, bukti-bukti dan keterangan saksi, Nazaruddin bukanlah orang nomor satu dalam Anugrah dan Permai Grup.
Hanya Anas Urbaningrum yang bisa mengendalikan seluruh perusahaan yang dinaunginya.
Tak hanya Anas, yang bertanggung jawab terhadap penerimaan dan pengeluaran uang dari badan usaha tersebut juga Yulianis, yang menjabat sebagai Direktur Keuangan Permai Grup. Yulianis disebut sebagai kerabat dekat Anas.
"Kedudukan terdakwa di Anugrah dan Permai hanya mengetahui pengeluaran dan pemasukan, tidak bisa mengambil uang tanpa izin Anas sebagai pengendali," kata Andriko.
Diketahui, dalam perkara ini, Nazaruddin sebagai terdakwa penerima hadiah dari pembangunan Wisma Atlet SEA Games Jakabaring, Palembang dan Gedung Serbaguna Pemprov Sumatera Selatan serta melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
JPU KPK menuntut Nazaruddin dengan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 1 tahun kurungan. Selain itu, Jaksa juga menuntut agar harta kekayaan Nazaruddin sekitar Rp600 miliar dirampas untuk negara.
Berdasarkan surat dakwaan, sumber penerimaan keuangan Permai Grup berasal dari fee pihak lain atas jasanya mengupayakan sejumlah proyek yang anggarannya dibiayai pemerintah. Dari uang tersebut, salah satunya Nazaruddin membeli saham PT Garuda Indonesia sekira tahun 2011, menggunakan anak perusahaan Permai Grup.
Nazar dituntut pidana sebagaimana diatur Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Selain itu, Nazaruddin dinilai melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pasal 3 ayat (1) huruf a, c dan e Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.