TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penetapan tersangka dan penahanan tiga orang terkait kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) oleh Bareskrim Polri dianggap bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan seperti diatur dalam UUD 1945.
Ketiga orang yang ditangkap, yaitu Mahful Muis Tumanurung, Andri Cahya dan Ahmad Musadeq.
Kritikan itu disampaikan Asfinawati, salah satu pengacara ketiganya saat jumpa pers di di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Kamis (26/5/2016).
Menurut Asfinawati, ketiga kliennya tersebut menjadi tersangka dengan tuduhan penistaan agama dan makar.
"Rabu kemarin mereka menjalani pemeriksaan kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan," ujar Asfinawati.
Asfinawati mengatakan, Pasal 28 E UUD 1945 menjelaskan hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi atau dinegasi dalam keadaaan apa pun juga.
"Apa yang dituduhkan kepada ketiganya terkait dengan keyakinan yang bersangkutan. Sesuai konstitusi kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh negara. Karena itu penentuan ketiganya sebagai tersangka merupakan kriminalisasi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan," kata Asfinawati.
Asfinawati juga mengatakan bahwa penetapan tersangka tersebut tidak didasarkan pada proses hukum yang benar.
Pasalnya, setelah Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 93 Tahun 2016 yang mengatur pelarangan bagi mantan dan pengikut untuk menyebarkan Gafatar, aparat tidak berhak menjalankan proses hukum terhadap ketiga kliennya.
Proses hukum, kata Asfinawati, bisa dijalankan apabila ada bukti bahwa eks anggota Gafatar melanggar isi dari SKB tersebut dan pembuktiannya harus melalui hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
"Ini prosesnya begitu cepat pascapenetapan SKB. Kami sudah meminta bukti evaluasi atas SKB tersebut, tapi kepolisian tidak bisa memberikannya," pungkasnya.
Asfinawati menilai, proses penahanan ketiga kliennya tidak berdasarkan pada ketentuan hukum. Polisi tidak bisa membuktikan ketiganya memiliki niat akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti.
Pasal 21 ayat (1) Kitab KUHP, kata Asfinawati, menyatakan bahwa penahanan terhadap tersangka harus berdasarkan bukti yang cukup atau ada kekhawatiran akan melarikan diri dan merusak barang bukti.
KUHAP juga mensyaratkan minimal 2 alat bukti. Namun pertanyaan dari kuasa hukum mengenai alat bukti tersebut tidak dapat dijelaskan oleh pihak kepolisian. Oleh karena itu, ia meminta ketiganya dilepaskan.
"Kami selaku tim kuasa hukum meminta kepada penyidik Polri untuk segera membebaskan mereka dari tahanan demi hukum," kata Asfinawati.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Agus Andrianto sebelumnya mengatakan, berdasarkan bukti yang diperoleh, para tersangka bukan cuma mengajarkan agama yang tidak sesuai, tetapi juga mengabungkan Al-Quran, Injil, dan Taurat.
"Mereka kan menyatukan kitab Al-Quran, Injil sama Taurat. Dicampur begitu," kata Agus.
Agus juga mengungkapkan peran ketiganya. Musaddeq berperan sebagai pengganti nabi setelah Nabi Muhammad yang bertugas membaiat orang serta menuntun mereka membacakan syahadat sesuai ajaran Gafatar.
Adapun Andri, berperan sebagai Presiden Gafatar dan Mahful Muis sebagai wakilnya.
"Tak hanya melakukan penistaan agama tapi juga mendirikan negara," ujar Agus.(Kristian Erdianto)