TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 25 Mei lalu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Perlindungan Anak ditolak sejumlah kalangan yang menganggap presiden tidak memperhatikan hak korban kejahatan seksual tersebut.
Salah satunya peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu yang meyakini Perppu tersebut tidak bisa dieksekusi.
"Masalahnya, tindakan tidak boleh dijatuhkan bersamaan dengan pidana. Kalau perppu ini sudah efektif berlaku, dipastikan kebiri yang diatur dalam perppu ini tidak memenuhi syarat peraturan perundang-undangan yang baik karena tidak bisa dieksekusi," ujar Eras di YLBHI, Jakarta Pusat pada Minggu (29/5/2016).
Menurutnya tindakan dan pidana tidak bisa dieksekusi jika dijatuhkan bersama.
"Berdasarkan Rancangan KUHP, tindakan hanya diberikan dalam konteks seseorang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara pidana. Jadi kalau orang gila, baru diberikan tindakan, dirawat. Kebiri itu tindakan, bukan pidana," jelasnya.
Ia khawatir Presiden Jokowi tidak tahu apa yang ditandatangani olehnya beberapa waktu lalu.
"Bahkan lebih parah lagi saya takut anak buahnya tidak memberi tahu apa yang akan ditandatangani," kata Eras.
ICJR meragukan Jokowi mengeluarkan Perppu berdasarkan analisis dan kajian yang tepat.
"Pemberatan pidana dalam Perppu ini sangat emosional namun tanpa perumusan hukum yang rasional juga," pungkasnya.