MUI berharap agar Revisi UU pemberantasan tindak terorisme ini tidak menyudutkan suatu agama tertentu.
"UU tidak boleh menimbulkan efek baru seperti stigmatisasi terhadap kelompok tertentu. UU juga harus bebas dari agenda dan kepentingan negara lain," kata Amirsyah.
Sedangkan Ketua Umum Majelis Tinggi Konghucu Indonesia (MATAKIN) Uung Sendana Linggaraja meminya revisi UU melindungi HAM.
Selain itu, perlu diperhatikannya hak asasi untuk beribadah.
Karenanya Uung meminta rumah ibadah juga harus dijaga mengingat perlunya perhatian dari sudut spriritual.
"Jadi perlu ditambahkan dalam pasal 1 ayat 12 tentang perlindungan rumah ibadah," ujarnya.
Sementara, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tidak sependapat mengenai hukuman mati yang masuk dalam revisi UU tersebut.
KWI melihat bahwa yang berhak mencabut nyawa seseorang hanya lah Tuhan Yang Maha Esa.
"Kami tidak menyetujui pidana hukuman mati, karena hanya Allah yang berhak mencabut nyawa seseorang," kata Sekretaris Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan KWI Agustinus Ulahyanan.
Pihak Perwakilan Umat Buddha Se-Indonesia (WALUBI) juga menilai aksi terorisme tidak terkait ajaran agama.
Ia pun menyarankan perlunya pencegahan dari sisi agama.
"Karena sering teroris dikaitkan dengan agama. Bisa dikaitkan agama apa saja. Saya percaya hakekatnya agama ga pernah ajarkan itu," tukas Ketua Umum WALIBI, Arie Harsono.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sendiri mengapresiasi revisi UU Terorisme yabg digagas DPR dan Pemerintah.
Ia menilai diperlukannya pengertian ideologi untuk mencari akar permasalahan.
"Kekerasan apapun tidak diperbolehkan di negeri ini," kata Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Hendri Lokra