Laporan wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sikap La Nyalla Mattalitti yang menolak menjawab beberapa pertanyaan dalam pemeriksaan tidak diambil pusing Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Maruli Hutagalung.
Menurut Maruli selaku pimpinan jaksa penyidik La Nyalla, sikap tersangka yang menolak jawab pertanyaan penyidik justru merugikan tersangka.
"Itu artinya dia tidak akan punya pembelaannya di berkas perkara," kata Maruli saat dihubungi, Rabu (1/6/2016).
Dia mencontohkan sikap serupa yang pernah dilakukan tersangka dugaan korupsi lain di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Otto Cornelis Kaligis.
"Jelas merugikan dia lah. Pas Pak OC Kaligis kan juga begitu," katanya.
Padahal, Kaligis mendapat vonis penjara selama lima tahun enam bulan dari majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pengacara gaek itu juga dibebankan denda sebesar Rp 300 juta yang dapat diganti empat bulan penjara.
Hukuman itu lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yang meminta Kaligis dihukum penjara 10 tahun karena telah menyuap panitera pengganti dan hakim PTUN Medan.
Sebelumya, melalui pengacaranya La Nyalla menyatakan menolak menjawab beberapa pertanyaan penyidik.
Mantan Ketua Kadin Jawa Timur itu merasa dia bukan lagi tersangka pada kasus yang dijerat padanya karena Pengadilan Negeri Surabaya melalui putusan praperadilan telah melepaskan status hukumnya.
Sedangkan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur berpendapat La Nyalla masih tersangka karena mereka telah mengeluarkan kembali surat perintah penyidikan baru.
Sebelumnya diberitakan, pada Selasa (31/6/2016), Pemerintah Singapura telah mendeportasi La Nyalla karena telah habis izin tinggalnya.
Dia meninggalkan Indonesia menuju Singapura pada 17 Maret 2016 lalu melalui Bandara Soekarno Hatta, satu hari setelah Kejati Jawa Timur menetapkannya sebagai tersangka.
Bersamaan penetapan ini, Kejati juga mengajukan permohonan cegah ke luar negeri untuk La Nyalla.
Tapi Kejati baru menerima surat cekal pada 18 Maret 2016.
La Nyalla menjadi tersangka dugaan korupsi dana hibah sebesar Rp 5 miliar tahun 2012.
Dia menyalahi penggunaan uang negara itu untuk membeli saham perdana Bank Jatim.