TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panitia Kerja (Panja) Redpath DPR Papua (DPRP) yang menangani pemutusan hubungan kerja (PHK) 125 karyawan PT Redpath Indonesia mengadu ke Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker). Padahal, PHK dari perusahaan subkontraktor PT Freeport Indonesia itu karena provokasi mogok oleh pimpinan perusahaan terkait tuntutan bonus bagi karyawan.
Hal itu disampaikan Ketua Panja Redpath DPRP Wilhelmus Pigai ketika mengadukan kasus PHK itu pada jajaran Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (PHI dan Jamsos) Kemnaker di Jakarta, Jumat (17/6/2016).
Selain Wilhelmus, hadir juga anggota Panja Redpath DPRP, yakni Decky Nawipa, Jefri Kaunang, dan Tan Wie Long.
Dia menjelaskan, DPRP melihat persoalan tersebut sangat serius dan merupakan PHK terbesar selama ini di Papua sehingga dibentuk sebuah panitia kerja (Panja).
Sayangnya, PT Redpath Indonesia belum mempunyai niat baik menyelesaikan perselisihan tersebut.
“Selama ini para karyawan tersebut sudah bekerja profesional untuk PT Redpath Indonesia. Pihak perusahaan sepertinya belum punya niat baik untuk menyelesaikannya,” ujar Wilhelmus yang juga anggota Fraksi Hanura DPRP ini.
Dikatakan, pihaknya sudah mengumpulkan data dan informasi dari berbagai pihak, termasuk karyawan dan perusahaan terkait PHK pada April 2015 tersebut. Tudingan mogok yang selama ini ditujukan kepada karyawan sangat tidak beralasan. Sebaliknya, aksi mogok menuntut bonus (insentif) tersebut justru karena diprovokasi oleh pimpinan PT Redpath.
Menurut salah satu korban PHK, Yesaya M Adadikam, ketika karyawan menuntut bonus justru Project Manager PT Redpath Indonesia, Nicky Herault, mempersilahkan untuk melakukan mogok pada pertengahan Maret 2015 itu. “Ucapan Nicky Herault yang mempersilahkan mogok justru memancing aksi dari para pekerja yang terdiri dari tujuh suku dari Papua tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya, ketika karyawan PT Freeport Indonesia melakukan mogok selama tiga bulan dari Oktober hingga Desember 2014, justru semua pekerja PT Redpath Indonesia tetap melaksanakan pekerjaannya.
“Untuk itu, para karyawan meminta bonus karena sudah bekerja profesional. Apalagi, bonus All For One itu diberikan kepada semua karyawan dari PT Freeport Indonesia. Mereka yang di-PHK ini sebagian besar spesialis tambang underground yang tetap bekerja ketika terjadi mogok massal tersebut,” tegas Wilhelmus.
Dalam salah satu suratnya kepada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Mimika, manajemen PT Redpath Indonesia menilai bonus yang dituntut karyawan tidak tepat dan mogok yang dilakukan pun tidak sah.
“PHK yang menimpa 80% persen pekerja asal Papua itu tersebut justru menimbulkan persoalan baru di Papua,” kata Wilhelmus yang berasal dari daerah pemilihan Kabupaten Mimika ini.
Wakil Ketua Panja Redpath DPRP Decky Nawipa menambahkan, jika PT Redpath Indonesia tidak mempunyai niat baik, maka perlu dilakukan langkah hukum dan sanksi dari pemerintah.