TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti menganggap pelibatan TNI dalam berbagai operasi pemberantasan terorisme merupakan hal yang wajar.
Selama ini, Polri terkadang meminta bantuan TNI untuk menangkap kelompok teroris, misalnya dalam operasi Tinombala yang memburu kelompok Santoso ke pegunungan di Poso.
"Selama ini TNI membantu di dalam memberantas tindak pidana terorisme. Sudah berjalan dengan baik, tidak ada masalah dan hambatan. Tapi judulnya tetap membantu Polri," ujar Badrodin saat dihubungi Kompas.com, Jumat (24/6/2016).
Namun, kata Badrodin, mustahil jika TNI terlibat sebagai instansi tersendiri dalam pemberantasan terorisme.
Bagimanapun, teroris yang ditangkap akan diproses secara hukum. Sementara proses hukum hanya dilakukan oleh Polri.
"Semua penindakan yang dilakukan harus dibawa ke pengadilan. Saya tidak paham kalau nanti TNI bisa melakukan sendiri, siapa yang memproses hukum?" kata Badrodin.
Oleh karena itu, Badrodin menganggap perlunya ada kajian bersama untuk memperjelas poin yang tertera dan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ia mengaku belum mengetahui secara jelas bagaimana formatnya nanti, apakah yang dimaksud Polri dan TNI akan menjadi instansi yang terpisah dalam penanganan terorisme atau tidak.
Pasal 43B ayat (1) draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan, kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.
Sementara itu, ayat (2) menyatakan peran TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Polri.