TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Merebaknya vaksin palsu untuk balita, membuat Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid alias Yenny Wahid gelisah.
Lebih-lebih setelah ia mengetahui penyidik Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri membongkar sindikat pemalsuan vaksin.
Dari operasi tersebut, diketahui bahwa para sindikat telah memproduksi vaksin palsu sejak tahun 2003 dengan wilayah edar seluruh Indonesia.
"Dari pengakuan para pelaku, vaksin palsu sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Sejak kapannya, yaitu sejak 2003," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Agung Setya.
Hingga saat ini, penyidik baru menemukan barang bukti vaksin palsu di tiga daerah, yakni Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
"Mas, aku mau bikin statemen soal vaksin palsu, tertarik ora? Soalnya aku lagi kebat kebit anakku mungkin kena. Aku lagi kebat-kebit anakku kena vaksin palsu," tanyanya kepada Tribunnews.com.
Menurut Yenny, selama 2 tahun belakangan ada kekosongan stok vaksin secara nasional. Bahkan RS besar tidak punya stok. Salah satunya adalah vaksin cacar air, MMR dan hepatitis A.
"Bahkan dokter anakku menganjurkan agar anakku dibawa ke Singapura supaya bisa terhindar dari wabah cacar air yg sering terjadi di sekolah-sekolah. Akhirnya setelah menelepon sejumlah RS, aku menemukan satu klinik kecil di Bogor yang masih punya stok," kenang Direktur The Wahid Institute, sebuah lembaga kajian Islam dan kebudayaan yang diprakarsai KH Abdurrahman Wahid.
Sesampainya di klinik, sang anak diberi vaksin. Belakangan setelah mengetahui adanya vaksin palsu, Yenny sontak menjadi terkaget-kaget.
"Sekarang aku kuatir bahwa itu adalah vaksin palsu. Mengapa? Kalau RS besar saja tidak punya stock, logikanya RS kecil seharusnya juga enggak dapat vaksin, kecuai vaksinnya palsu," ungkapnya.
Kata Yenny, intinya bahwa persoalan vaksin ini berkaitan erat dengan lemahnya pengawasan kementrian kesehatan, baik terhadap ketersediaan vaksin asli maupun terhadap kualitas vaksinnya.
"Padahal semakin maju sebuah negara, seharusnya semakin berkualitas pelayanan kesehatannya, termasuk harga yang terjangkau," ucap lulusan sarjana desain dan komunikasi visual Universitas Trisakti.
Ia merasa heran karena vaksin yang sekarang di berikan gratis oleh pemerintah kadang membuat anak jadi panas.
"Akhirnya orangtua terpaksa membeli vaksin lain sejenis, tapi yang tidakmembuat panas. Dan itu harganya mahal, bisa sampai Rp 600-Rp900 ribu," ujarnya.
Yenny Wahid Khawatir Anaknya Kemasukan Vaksin Palsu
Penulis: Achmad Subechi
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger