TRIBUNNEWS.COM - Berulangnya kembali penyanderaan Warga Negara Indonesia (WNI) oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina, menimbulkan keprihatinan banyak pihak.
Kalau tidak segera diatasi, maka kemungkinan besar kasus-kasus seperti ini akan terus terulang dan menimbulkan persoalan yang pelik karena menyangkut keselamatan jiwa.
Sebagaimana diberitakan, saat ini tujuh WNI awak kapal tunda Charles 001 masih disandera oleh kelompok Abu Sayyaf dan diperkirakan berada di sekitar Pulau Jolo, Filipina.
Di sisi yang lain, melakukan aksi pembebasan sandera di wilayah negara lain juga tak mudah dilakukan.
Ini menyangkut aspek hukum dari masing-masing negara yang tidak sama.
Indonesia misalnya, tidak bisa begitu saja mengerahkan pasukan ke Filipina guna membebaskan sandera apabila tidak ada permintaan resmi dari negara bersangkutan.
Demikian juga bila kasus tersebut terjadi di Indonesia, pemerintah Indonesia juga tentu tidak akan semudah itu membolehkan pasukan asing masuk ke wilayah Indonesia.
Komandan Korps Pasukan Khas (Dankorpaskhas) TNI AU Marsekal Muda TNI Adrian Wattimena, memandang perlu bagi ASEAN untuk membentuk suatu kerja sama militer dalam upaya melakukan pembebasan warga negara dari sekapan para perompak/penyandera.
Langkah ini sebagai jalan untuk membuka kebuntuan, karena masing-masing negara di ASEAN selalu terbentur aspek hukum yang berbeda-beda.
“Saya kira bagus bila ASEAN punya misalnya Satuan Tugas (Satgas) Pasukan Khusus bersama. Sehingga bila terjadi kasus-kasus seperti perompakan/penyanderaan atau kidnapping, satgas ini bisa langsung diturunkan dalam misi joint operation,” ujarnya di Jakarta dalam perbincangan tatap muka denganAngkasa beberapa hari lalu.
Model operasi bersama melibatkan banyak negara sebenarnya telah berjalan.
Namun masih terbatas pada bidang-bidang tertentu, seperti penanggulangan bencana atau operasi SAR.
“Ketika terjadi suatu bencana di suatu negara, maka dengan seketika negara-negara, termasuk di ASEAN, bisa langsung melaksanakan misi operasi bersama,” ujar Wattimena.
“Tapi hal ini tidak bisa begitu saja bisa dilakukan dalam operasi militer perang, karena masing-masing negara punya hukum yang mebatasi militernya melakukan kooperasi dengan militer negara lain,” jelasnya.
Kerja sama bidang militer yang sejauh ini dilaksanakan, masih terbatas pada pertukaran informasi, pertukaran perwira untuk pendidikan, kunjungan, atau forum-forum diskusi yang sifatnya temporer.
“Tapi, implementasi riilnya belum ada karena terbentur undang-undang tiap negara tadi.”
Untuk kasus di perairan, Wattimena mencontohkan, kita bisa melakukan pengejaran sampai pada batas teritorial negara lain.
Setelah itu kita tidak bisa masuk ke sana. Makanya yang paling bisa dilakukan saat ini adalah melakukan patroli bersama di perbatasan.
Ini pun bukan operasi di laut dalam, hanya di perairan-perairan antarpulau saja.
“Jadi saya kira ASEAN ke depan ini harus mau membuka diri. Harus ada yang mendorong, harus ada yang menginisiasi, dan harus ada ratifikasi dari masing-masing parlemen negaranya. Level politiknya harus menyetujui dulu,” kata perwira tinggi bintang dua TNI AU ini.
Batas masing-masing negara yang saat ini menjadi kendala, tidak semestinya menjadi satu-satunya ‘ego’ atau idealisme yang membentengi terciptanya masalah keamanan bersama.
“Negara-negara maju, mereka sudah terintegrasi membangun peace and security bersama,” ujar Dankorpaskhas. “Kan ada istilah global village dimana kita hidup bersama di planet ini. Yang juga artinya, keamanan semestinya menjadi kebutuhan bersama.”
Faktor lain, langkah menuntaskan masalah terorisme atau aksi-aksi penyanderaan juga tidak akan sembrono dilakukan oleh suatu pemerintahan. Mereka punya oposisi juga.
“Karena itu kan menyangkut rakyat mereka sendiri. Tidak mungkin pemerintah begitu saja memerangi rakyatnya sendiri. Ini bisa menimbulkan masalah serius juga,” ungkap Adrian Wattimena.
Penulis: Roni Sontani/Angkasa Online