TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi bom bunuh diri di Mapolresta Solo, Selasa (5/7/2016) tadi pagi diduga berkaitan dengan terbunuhnya calon menantu pimpinan teroris yang paling dicari Santoso bernama Dodo alias Ponda beberapa waktu lalu.
Serangan ini menurut pengamat terorisme UI Ridlwan Habib yang tengah berada di Solo, Jawa Tengah, masih ada kaitannya dengan peristiwa tersebut.
"Soal motif, kita menduga ada kaitan dengan terbunuhnya calon menantu Santoso yang bernama Dodo alias Ponda beberapa waktu lalu," katanya ketika dihubungi Tribun, Selasa (5/7/2016).
"Polisi sebagai sasaran balas dendam. Ini qishash, darah balas darah, nyawa balas nyawa. Tapi, salah sasaran," katanya.
Dia menjelaskan serangan bom di Mapolresta Solo yang berhasil digagalkan petugas provos mirip peristiwa tahun 2013, yakni terjadi di Mapolresta Poso dan juga berhasil digagalkan.
Saat itu, jelasnya pelaku bernama Zainul berhasil dihadang sebelum meledakkan dirinya sendiri.
Zainul warga Lamongan dan merupakan simpatisan kelompok Santoso di Poso.
Ridlwan menjelaskan, dari kemiripan pola serangan patut diduga teror bom Solo masih berhubungan dengan kelompok Santoso.
"Jejaring Solo yang simpati ke Santoso dan ISIS,"kata Ridlwan.
Di kawasan Pasar Kliwon, Solo pada Agustus 2015, kata dia, pernah terbongkar jaringan ISIS.
Saat itu sebuah konter pulsa digeledah dan ditemukan bom bom rakitan siap pakai.
"Kelompok itu dikenal dengan kelompok Ibad, simpatisan ISIS dan pernah berhubungan dengan Bahrun Naim di Suriah,"katanya.
Alumni S2 Intelijen UI itu menjelaskan, kelompok Ibad sering juga disebut jaringan Pasar Kliwon. Itu merujuk pada nama sebuah kecamatan di Solo.
"Beberapa anggotanya kontrak di kawasan itu, " ujarnya.
Ridlwan menduga pelaku serangan kali ini masih ada kaitannya dengan kelompok yang dibongkar setahun lalu itu. "Sisa sisa jaringan, "katanya.
Ridlwan menjelaskan, serangan di bulan Ramadan jelas merupakan kejahatan yang menodai Islam.
"Kelompok ini menganggap bulan Ramadan bulan jihad. Tapi jihadnya mereka salah kaprah," ujarnya.
Dijelaskan kelompok ini selalu mencari titik lemah di kepolisian. Misalnya kantor yang sepi.
"Mereka tidak mempunyai kemampuan melakukan serangan besar, karena itu bahannya apa.adanya, "katanya.
Koordinator Indonesia Inteligence Institute itu mengingatkan agar pemerintah tidak lengah.
"Kewaspadaan maksimal, bahkan kalau perlu dalam level siaga 1 di seluruh Indonesia," katanya.