TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keterkaitan pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso dengan kelompok ISIS bermula dari sumpah setia.
Santoso dan kelompoknya menyampaikan sumpah setianya pada ISIS dan pemimpinnya, Abu Bakr Al-Baghdadi, pada Juli 2014 lalu.
Pria itu bahkan menyebut dirinya sebagai komandan pasukan ISIS di Indonesia. Teroris di balik serangan Sarinah, Bahrun Naim, kemudian dikatakan menjadi satu dari WNI yang menjadi pimpinan ISIS di Suriah.
Bahrun juga dianggap sebagai perantara pimpinan ISIS dan Indonesia oleh direktur Global Terrorism Research Centre Monash University, Greg Barton.
Pengakuan sumpah setia itu kemudian menjadi bukti bahwa Santoso dan MIT telah menjalin hubungan dengan kelompok ISIS.
Bahkan, diduga semua kegiatan MIT dibiayai oleh ISIS. Santoso memang tak sebegitu populer di ranah internasional seperti Abu Bakar Baasyir, pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia.
Meski demikian tetap dianggap sebagai figur penting yang memiliki hubungan dengan ISIS dan pimpinan-pimpinan kelompok jihad di Indonesia. Atas dukungannya terhadap ISIS itu, Santoso bahkan di disertakan dalam daftar teroris global yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS.
Disertakannya nama Santoso itu membuat semua aset properti Santoso yang mungkin ada di wilayah yurisdiksi AS diblokir aksesnya. Karena dianggap figur penting, kematian Santoso dalam baku tembak pada Senin (18/7/2016) di Poso sangat diharapkan terbukti kebenarannya.
Baku tembak yang melibatkan tim gabungan prajurit TNI dan polisi itu mengakibatkan dua orang meninggal dunia. Satu di antara yang tewas diduga adalah pemimpin kelompok itu, Santoso, yang dicirikan memiliki tahi lalat di dahi, berwajah tirus, dan kurus.
Jika benar, maka itu akan jadi keberhasilan besar bagi otoritas Indonesia atas upaya anti-terorisme yang sudah dilakukan selama ini. Apalagi mengingat ribuan pasukan dan tentara telah dikerahkan untuk memburu pria yang disebut sebagai buron utama Indonesia selama lima tahun ini. (Reuters/Sky News/News.com.au)