TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata, Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna, diduga ikut mengatur perkara dan memilih komposisi hakim di Mahkamah Agung.
Terdakwa dalam kasus suap terkait penundaan pengiriman salinan putusan kasasi tersebut menjanjikan kepada pihak yang berperkara mengenai pengaturan nama-nama hakim yang bakal menangani perkara.
Bahkan, ia mematok tarif sebesar Rp 100 juta untuk mengatur komposisi Hakim Agung.
Hal tersebut diakui Asep Ruhiat, seorang pengacara yang menangani banyak perkara di Mahkamah Agung.
Awalnya, kepada Majelis Hakim, Asep mengaku tidak pernah meminta Andri untuk mengatur para hakim. Majelis Hakim kemudian membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Asep saat diperiksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam BAP, Asep mengaku bahwa ia pernah meminta tolong kepada Andri, agar memonitor perkara pidana di MA. Perkara yang dimaksud yakni, peninjauan kembali perkara korupsi dengan terdakwa H Zakri.
Dalam tingkat kasasi, terdakwa diputus oleh Hakim Artidjo Alkostar dengan pidana 8 tahun penjara. Asep meminta agar yang memeriksa pengajuan PK tidak lagi Hakim Artidjo. Untuk itu, Andri meminta uang Rp75 juta.
Menurut Andri, harga tersebut lebih murah, karena biasanya pengkondisian Hakim Agung membutuhkan biaya sebesar Rp100 juta.
"Iya benar, pernah yang mulia, kalau nanti PK jangan Pak Artidjo lagi. Tapi kami tidak menyanggupi untuk itu," kata Asep di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (21/7/2016).
Selain mengatur hakim, Asep juga mengakui bahwa ia meminta agar Andri dapat membantu memengaruhi putusan hakim. "Saya minta agar nantinya hakim dapat memutus pada putusan tingkat pertama, dengan putusan 3 tahun penjara," kata Asep.
Andri didakwa menerima suap sebesar Rp 400 juta. Suap tersebut diberikan pihak yang sedang berperkara di MA.
Menurut Jaksa, uang sebesar Rp 400 juta tersebut diberikan agar Andri mengusahakan penundaan pengiriman salinan putusan kasasi atas nama Ichsan Suaidi, dalam perkara korupsi proyek pembangunan Pelabuhan Labuhan Haji di Lombok Timur.
Penundaan diharapkan agar putusan kasasi tersebut tidak segera dieksekusi oleh jaksa dan memiliki waktu untuk mempersiapkan memori pengajuan peninjauan kembali (PK). (Abba Gabrillin)