TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Imparsial Al Araf mengingatkan pemerintah agar berhati-hati saat memutuskan pelibatan militer dalam penumpasan teroris.
Penegasan Al Araf itu terkait pembahasan Revisi Undang-Undang Anti Terorisme.
"Hati-hati untuk membangun ruang baru dalam pelibatan militer yang fungsinya untuk menjaga keamanan dalam negeri," ujar Araf, saat ditemui di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (25/7/2016).
Ia pun khawatir akan ada penyalahgunaan kekuasaan jika hal tersebut terjadi, terlebih tanpa tunduknya militer dalam sistem peradilan sipil.
"Bila itu terjadi, dan pada saat yang sama pemerintah tidak meletakkan militer dalam sistem hukum yang harus tunduk dalam peradilan sipil, bisa saja ada penyalahgunaan kekuasaan," jelasnya.
Mengacu pada kekhawatiran tersebut, ia menyebutkan tindakan penculikan para aktivis pada tahun 1998 dan penegakan hukum yang hingga kini tidak selesai.
"Kalau suatu saat terjadi potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh militer, seperti penculikan aktivis 98," tegasnya.
Araf pun menjawab sendiri pertanyaan yang ia lontarkan pada rekan media, ia menuturkan rakyat tidak bisa menuntut atas kasus tersebut, karena militer hanya tunduk pada peradilan militer.
"Mau nuntut dimana? Militernya nggak tunduk dalam peradilan umum, tunduk dalam peradilan militer, akuntabilitasnya nggak jelas," tandasnya
Sebelumnya, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah sepakat untuk melakukan Revisi pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Salah satu misinya yakni untuk memudahkan aparat penegak hukum dalam melakukan upaya preventif pencegahan terorisme.