TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Zaenab, salah seorang perwakilan Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) yang tergabung dalam Aliansi Tolak Hukuman Mati meminta pemerintah Indonesia mengkaji ulang vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada terpidana narkoba Merry Utami(MU).
"Dari kronologis yang ada, pemerintah seharusnya juga melihat bahwa apakah dia (Merry Utami) cukup layak untuk menerima pidana mati?" ujar Zaenab saat ikut aksi protes di seberang Istana Merdeka Jakarta Pusat, Selasa (26/7/2016).
Ia menyayangkan vonis mati yang telah ditetapkan tersebut, menurutnya MU merupakan korban perdagangan manusia, dan itu seharusnya menjadi pertimbangan pemerintab sebelum menjatuhkan vonis.
"Padahal MU sendiri adalah korban trafficking, korban perdagangan orang, mengapa pidana mati harus justru mengkriminalisasikan korban?" tegasnya.
Zaenab pun dengan tegas mempertanyakan apa yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam memutuskan hal yang menyangkut isu kemanusiaan tersebut.
"Kita perlu mempertanyakan kembali bagaimana proses vonis pidana mati selama ini," jelasnya.
Sebelumnya, Pemerintah melakui Kejaksaan Agung rencananya kembali melakukan eksekusi hukuman mati Jilid 3 bagi sejumlah terpidana mati.
Rencananya, eksekusi mati tersebut dilaksanakan pada akhir bulan Juli 2016 atau dalam pekan ini.
Dalam daftar terpidana mati tersebut, terdapat nama Merry Utami yang kini menjadi fokus para penggiat Hak Asasi Manusia.
Merry Utami merupakan seorang wanita yang pernah bekerja sebagai buruh migran, sekaligus menjadi korban Human Trafficking (Perdagangan Manusia), yang menurut para penggiat HAM dijebak oleh sindikat narkoba.
Ia telah menjalani hukuman penjara selama 15 tahun, dan kini dirinya telah dipindahkan dan dimasukkan dalam sel isolasi di Nusa Kambangan untuk menghadapi eksekusi mati yang rencananya tinggal menghitung hari.