TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad menyatakan terpidana mati yang belum mengajukan grasi (pengurangan hukuman) tidak menghalangi proses eksekusi.
Menurut Noor Rachmad, putusan Mahkamah Konstitusi pada 15 Juni 2016 terkait Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang Grasi tidak berlaku surut.
Putusan itu membatalkan batasan waktu pengajuan grasi yang sebelumnya dibatasi harus berlangsung sebelum satu tahun keluarnya putusan hukum tetap.
"Artinya Saya sudah konfirmasi dengan ketua MK bahwa ini tidak berlaku surut, kedepan. Artinya begini terpidana mati yang pernah mengajukan grasi dan ditolak, maka dia diberi kesempatan dalam dua tahun untuk mengajukan kembali, lewat dari itu tidak bisa," kata Noor Rachmad di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (26/7/2016).
Hal senada juga disampaikan Juru Bicara MK, Fajar Laksono. Menurutnya putusan MK tidak berdampak pada terpidana yang belum ajukan grasi sebelum putusan itu dibacakan.
"Putusan MK tidak berlaku surut," kata Fajar saat dihubungi.
Sebelumnya, beberapa pengacara terpidana mati mulai protes terkait pemindahan kliennya yang diduga sebagai persiapan eksekusi.
Pasalnya, terpidana yang baru dipindah ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, mengaku belum pernah mengajukan grasi (pengurangan hukuman).
Padahal, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo berulang kali menyebutkan terpidana mati akan dieksekusi setelah hak hukumnya dipenuhi.
Menurut Farhat Abbas, klienya yang berwarga negara Senegal-- Seck Osmane-- belum pernah mengajukan grasi setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Kedua kuasa hukum tersebut menyatakan akan mengajukan permohonan grasi atas kliennya besok, Rabu (27/7/2016).
Zulfiqar Ali dan Seck Osmane telah dipindahkan ke Lapas Nusakambangan pada Senin (25/7/2016). Mereka saat ini tengah mendekam dalam sel isolasi di penjara dengan penjagaan maksimal itu.
Seck Osmane merupakan terpidana mati kasus penyalahgunaan 2,4 kilogram heroin yang ditemukan di Apartemennya bilangan Jakarta Selatan.
Warga Negara Senegal itu dihukum pidana mati oleh hakim Rocky Panjaitan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2004 silam.
Sedangkan Zulfiqar Ali merupakan terpidana mati yang divonis pada 2005. Dia ditangkap pada 2004 karena kepemilikan 300 gram heroin.