TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Freddy Budiman termasuk satu dari sekian banyak terpidana narkoba yang tengah menanti pelaksanaan eksekusi mati jilid III.
Freddy telah berulangkali berurusan dengan hukum atas kasus narkoba.
Pada 2009, Freddy ditangkap atas tuduhan kepemilikan 500 gram sabu-sabu dan divonis hukuman bui tiga tahun empat bulan.
Pada 2011, pria itu kembali kedapatan menyimpan ratusan gram sabu-sabu, ditambah bahan pembuat narkoba jenis inex.
Ia lagi-lagi terkena kasus narkoba di Sumatera, yang membuatnya menghabiskan masa tahanan 18 tahun di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang.
Namun, berada di balik jeruji besi tak menghentikan Freddy dari bisnis narkoba.
Berbekal telepon genggam, bisnis tersebut terus digarapnya sembari menjalani waktu tahanan, sampai aksinya ketahuan Badan Narkotika Nasional.
Pada 2012, lebih dari sejuta butir ekstasi dari bisnisnya disita oleh pihak Badan Narkotika Nasional.
Seakan tak cukup, jaringan ekstasi internasional Belanda - Jakarta kemudian memunculkan nama Freddy sebagai yang terlibat dalam sindikat itu.
Vonis mati akhirnya dijatuhkan atas Freddy pada 15 Juli di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Tapi, tetap saja hal itu tak menghalanginya untuk kembali berulah.
Ia ketahuan membawa tiga paket narkoba jenis sabu di celana dalamnya saat dipindahkan ke LP Nusakambangan.
Freddy sempat mengaku ingin bertobat dan berhenti menjadi pengedar, yang dikatakannya demi istri dan empat anaknya.
Pelaksanaan eksekusi mati terpidana narkoba jilid III dikabarkan akan jatuh pada pekan ini.
Hal itu didukung penampakan aktivitas yang mulai terlihat meningkat di akses menuju Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.
Pemerintah Indonesia memang telah memindahkan beberapa terpidana mati ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.
Dalam waktu dua hari terakhir saja, sudah ada beberapa terpidana yang digiring ke penjara berkeamanan maksimal itu.