TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Jaksa AGung HM Prasetyo dalam rencana eksekusi mati membuahkan hasil bahwa Jaksa Agung asal Nasdem ini sementara lolos dari kocok ulang kabinet.
Hendardi, Ketua Setara Institute dalam rilisnya, Kamis (28/7/2016) mengatakan, Jaksa Agung HM Prasetyo yang minim prestasi dianggap terus mengkapitalisasi eksekusi mati untuk menutupi kelemahan dirinya pada penegakan hukum anti korupsi dan penuntasan pelanggaran HAM berat.
Bahkan pemerintah menutupi rapat rencana itu untuk meminimalisir perdebatan.
Namun demikian, sebagai sebuah tindakan pelanggaran HAM, ekseksi mati selayaknya harus terbuka ruang perdebatan setidaknya pemerintah membuka ruang bagi alternatif lain selain eksekusi mati.
Kepanikan Jaksa Agung terkena jaring reshuffle, meski akhirnya lolos adalah motif lain dari Jaksa Agung yg tidak berkinerja baik.
"Saya menolak dan mengutuk rencana eksekusi mati ini dan secara sungguh-sungguh mendorong pemerintah untuk menghapus hukuman mati dari seluruh produk hukum Indonesia," kata Hendardi, Ketua Setara Institute dalam rilisnya, Kamis (28/7/2016).
Banyak cara lain untuk membuat orang jera melakukan tindak kejahatan. Bagi saya evaluasi penegakan hukum, khususnya pada sektor pemberantasan narkoba dan pengelolaan lembaga pemasyarakatan adalah prioritas utama, dibanding mengambil nyawa para terpidana mati, yg nyatanya tidak juga memberikan efek jera dan menghilangkan kesempatan untuk koreksi jika ada kekeliruan.
Hukuman mati adalah tindakan antikemanusiaan dan melanggar Konstitusi RI dan instrumen HAM. Masa depan pemajuan HAM sangat sulit diharapkan dari sosok Jaksa Agung yg tidak memiliki pembelaan atas HAM.
"Apalagi dengan Wiranto sebagai Menkopolhukam, maka hampir dipastikan prakarsa dan janji Jokowi pada bidang HAM sulit dipenuhi," jelasnya.