News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kerusuhan di Tanjung Balai

Politikus PKS Minta Kerusuhan di Tanjung Balai Jangan Dianggap Sepele

Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pembakaran di Tanjung Balai Sumut.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) terjadi lagi di Indonesia, tepatnya Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Anggota Komisi I DPR Mahfudz Siddiq meminta pemerintag menegakkan hukum terhada semua pihak yang terlibat dan bertanggungjawab atas kasus tersebut.

Pemerintah juga harus melalukan pencegahan meluasnya konflik ke daerah lain. 

"Konflik SARA di Tanjung Balai tidak boleh dianggap sepele. Ada potensi letupan konflik yang lebih besar dan luas. Jika itu terjadi maka bisa menjadi pintu kekacauan politik dan ekonomi baru di negeri ini," kata Mahfudz melalui pesan singkat, Minggu (31/7/2016).

Mahfudz mengungkapkan sejumlah alasan. Pertama, konflik SARA sedang menjadi trend dunia.

Ia menyebutkan kekacauan politik di kawasan timur-tengah yang melibatkan beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat telah memunculkan kekuatan teror baru yang menakutkan, yaitu ISIS. 

"Buah dari rangkaian aksi teror yang terus berlanjut adalah menguatnya sentimen negatif terhadap Islam dan umat Islam. Ini tercermin dari sikap politik kelompok ultra-nasionalis di beberapa negara eropa, sikap politik capres Amerika, Donald Trump, dan meningkatnya tekanan terhadap kelompok muslim di India dan Tiongkok misalnya," kata Politikus PKS itu.

Menurutnya, terdapat pencipataan kondisi global untuk memposisikan Islam dan umat Islam sebagai musuh bersama.

"Sedangkan pada saat yang sama ISIS dan unsur-unsur pendukungnya terus melakukan serangan terhadap siapapun yang dianggap lawan," imbuhnya.

Alasan lainnya,  menguatnya posisi dan peran politik kelompok minoritas yang mengusung isu anti-kemapanan.

Mahfudz mengungkapkan keberhasilan partai politik ultra-nasionalis menguasai pemerintahan dan mengubah kebijakan pemerintahan di sejumlah negara eropa.

Contohnya di Polandia, Italia dan juga kemenangan Brexit di Inggris. "Menguatnya dukungan terhadad Trump juga menjadi indikasi tambahan. Kekuatan politik ini diprediksi akan mengusung isu yang berakibat meningkatnya konflik SARA di berbagai negara," katanya.

Mahfudz juga menuturkan isu terorisme makin menguat dan tidak bisa dipungkiri bahwa isu ini menggiring opini luas umat Islam sebagai ancaman.

Ruang demokrasi juga sedang mencuatkan posisi dan peran politik yang lebih besar kepada unsur minoritas. Sebut saja isu pilkada DKI. "Kontestasi pilpres yang lalu pun sebenarnyaa tak lepas juga dari nuansa isu SARA," kata Mahfudz.

Menurut Mahfudz, harus diakui Indonesia menyimpan riwayat konflik SARA yang panjang dan tetap menjadi bahaya laten.

Faktor kesenjangan sosial-ekonomi tetap menjadi pemicu paling mendasar.

Hal lainnya, Mahfudz mengungkapkang munculnya gejala arogansi dan kontroversi kebijakan yang dipersepsi oleh unsur mayoritas sebagai upaya untuk memenangkan agenda unsur minoritas. 

"Sebut saja kontroversi penghilangan kolom agama di KTP, penghapusan perda "syariah", sejumlah kebijakan pemprov DKI yang dianggap merugikan kepentingan umat Islam plus sikap-sikap sang gubernur yang dinilai arogan," katanya.

Terakhir, Mahfudz menuturkan faktor skala global dan domestik ini bisa bercampur-aduk sedemikian rupa. 

Hal ini berjalan di atas realitas Keberagaman masyarakat Indonesia, kesenjangan sosial-ekonomi yang menguat akibat problem ekonomi yang makin berat, riwayat panjang konflik bernuansa SARA, dan munculnya model kepemimpinan dan kebijakan yang dipersepsi sebagai pertarungan minoritas versus mayoritas.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini