TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrrachman Ruki, mengatakan, dunia politik berpotensi besar menjadi ladang korupsi.
Apalagi, jika oknum yang terjerat dibekingi partai politik dan memiliki kekuasaan.
Hal ini menyebabkan penegakan hukum terhadap koruptor menjadi lebih sulit.
"Biang kerok korupsi di republik ini di politiknya. Untuk jadi bupati perlu uang. Gubernur DKI Jakarta paling dikit butuh Rp 250 miliar," ujar Ruki, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Senin (15/8/2016).
Kepala daerah, kata Ruki, membutuhkan uang untuk modal kampanye.
Ketika terpilih, kepala daerah yang koruptif berupaya mengembalikan modal kampanye yang dikeluarkannya dengan cara yang tidak halal.
Hal ini menyebabkan para kepala daerah ini tidak fokus menunjukkan kinerja, tetapi sibuk mencari dana untuk mengembalikan modal kampanye.
"Itu sumber korupsi yang terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh anggota DPR dan pejabat publik. Jadi kita perlu pemimpin dengan komitmen yang kuat," kata dia.
Ruki mengisahkan, teman sejawatnya ada yang terjerat korupsi setelah terjun di dunia politik. Namun, Ruki enggan menyebut siapa orang tersebut.
Padahal, kata dia, semasa masih berjuang bersama, orang tersebut sangat lurus dan jauh dari korupsi.
"Tapi begitu masuk dalam birokrasi, kena dia. Padahal, gue tahu siapa lo. Tapi kebijakan lo salah dan memberi keuntungan ke si X," kata Ruki.
Rekannya tersebut akhirnya terjerat korupsi karena menyalahgunakan wewenang serta menguntungkan diri sendiri dan orang lain.
Ruki mengatakan, korupsi terjadi lantaran sistem yang lemah dan buruk.
"Bukan cuma orangnya yang jahat, tapi sistemnya jelek. Maka harus dibenahi," kata dia.
Penulis: Ambaranie Nadia Kemala Movanita