TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selaku pucuk pimpinan bidang pemberantasan narkoba di BNN, Irjen Pol Arman Depari telah menerapkan sejumlah protap kepada para anak buahnya setiap kali melakukan operasi penelusuran maupun penggerebekkan bandar narkoba.
Selain membekali diri dengan senjata api, setiap anggota harus mengenakan rompi anti-peluru (bullet proof vest) hingga rompi balistik (ballistic vest) saat melakukan penangkapan jaringan narkoba.
"Kalau sasarannya kelompok besar, pasti kami bawa bullet proof vest dan senjata api. Tapi kalaupun bukan kelompok besar dan nggak ada potensi ancaman, tidak sampai seperti itu, tapi tetap dengan kewaspadaan tinggi," urainya.
Menurutnya, perencanaan atau pemetaan sasaran sebelum eksekusi operasi juga sangat penting untuk mendukung keberhasilan sebuah operasi dan keselamatan petugas di lapangan.
Paling tidak, BNN mengerahkan minimal satu regu terdiri dari sepuluh personel dalam sebuah operasi penggerebekkan atau penangkapan anggota jaringan internasional.
"Sebab, kita tidak tahu jumlah orang dan siapa saja orang-orang yang akan kami hadapi saat operasi itu. Oleh karena itu, paling tidak kami kerahkan satu regu dalam setiap kegiatan di lapangan," jelasnya.
"Kegiatan yang paling besar sering sekali. Bisa sampai 100 personel. Seperti saat kami melakukan operasi penangkapan penyelundupan narjoba di laut dekat Pelabuhan Ratu. Kami saat itu melibatkan anggota Brimob dan Polair untuk back-up," tambah dia.
Menurut Arman, ancaman terhadap keselamatan petugas dalam mengungkapkan kasus narkoba tidak hanya terjadi saat pelaksanaan operasi penangkapan.
Tapi, juga terjadi pada sebelum dan setelah operasi tersebut. Anggota jaringan narkoba tak jarang mengancam keselamatan keluarga petugas.
"Kalau ke saya, ada yang ancaman langsung, ancaman yang paling halus sampai ancaman fisik yang paling keras. Anggota saya juga pernah dihadang di jalan. Ancaman kepada keluarga saya juga ada, mereka diintimidasi," ungkapnya. (*)