TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly enggan membuka video testimoni Freddy Budiman ke publik. Pasalnya, Kemenkumham masih memeriksa secara utuh kesaksian Freddy dalam rekaman video tersebut.
"Enggak lah (diungkap ke publik). Nanti kami lihat dulu isinya apa," ujar Yasonna saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (25/8).
Menurut dia, isi dari video tersebut hanya berupa pesan terakhir dari Freddy sebelum dieksekusi.
Dia juga menegaskan dalam video tersebut, Freddy tidak menyebut nama-nama jenderal atau pejabat BNN, Polri, dan TNI yang terlibat dalam jaringan bisnis narkoba.
"Isinya hanya pesan terakhir Freddy jelang dieksekusi. Tidak ada yang seperti itu (penyebutan nama)," kata Yasonna.
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM Akbar Hadi mengaku pihaknya sempat membuat video yang berisi testimoni Freddy.
Akbar mengatakan, pihaknya mendapatkan informasi dari kepala Lapas Nusakambangan mengenai perubahan sikap Freddy yang signifikan.
Video tersebut hanya menampilkan seputar kegiatan pembinaan selama di lembaga pemasyarakatan Nusakambangan. Ini termasuk perubahan sikap Freddy yang dianggap sudah jauh lebih baik menjelang eksekusi mati.
Para terpidana lain yang menghuni lapas Nusakambangan juga dimintai testimoninya. Namun, hanya sekilas dan tidak berdurasi panjang seperti Freddy.
"Ini kan menarik, yang dulu bandar narkoba, main perempuan, sekarang bisa berubah," kata Akbar.
Akbar memastikan dalam video tersebut tak terkait soal cerita Freddy kepada Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Haris Azhar.
"Saya jamin tidak ada (omongan) soal kasus hukumnya. Kalaupun ada, tidak kami rekam," kata Akbar.
Freddy merupakan bandar narkotika yang dieksekusi mati bersama tiga narapidana lain pada Jumat (29/7) lalu.
Dua hari setelah eksekusi, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menyebarkan cerita yang diklaimnya didapat dari Freddy.
Dalam tulisan berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit" itu mengungkap bahwa oknum Polri, TNI, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bea Cukai terlibat dalam peredaran narkotika jaringan Freddy.
Untuk membuktikan cerita itu, Polri membentuk tim investigasi yang diketuai Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komisaris Jenderal Dwi Prayitno. Bukan hanya di Polri, tim juga dibentuk TNI untuk menelusuri informasi itu.
Penanggung jawab Tim Pencari Fakta Gabungan (TPFG) Komisaris Jenderal (Pol) Dwi Priyatno mengatakan pihaknya akan meminta video soal terpidana mati Freddy Budiman yang saat ini berada di Kementerian Hukum dan HAM.
"Kami akan melihat sama-sama. Nanti kami akan buatkan semacam berita acara penyerahan," ujar Dwi.
Menurut Dwi, tim gabungan akan melihat fakta-fakta yang ada dalam video tersebut. Selanjutnya, fakta-fakta tersebut akan dianalisa untuk diambil suatu kesimpulan.
Staf ahli Deputi V Kantor Staf Presiden bidang Kajian Politik dan Pengelolaan Isu-isu Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM, Ifdhal Kasim menyebut, pemerintah bisa saja membentuk tim independen yang mengoordinasikan investigasi tim dari Polri, TNI dan BNN.
"Kemungkinan itu tetap terbuka," kata Ifdhal dalam seminar di kawasan Salemba, Jakarta.
Kepolisian membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Gabungan yang terdiri dari unsur internal dan eksternal Polri. Tim tersebut terdiri dari 18 orang. Selain Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan TNI juga membentuk tim yang terdiri dari unsur internal masing-masing institusi.
Menurut Ifdhal, keterlibatan presiden Jokowi tergantung pada kinerja setiap tim. Saat ini, kata dia, Presiden memberikan kesempatan kepada setiap tim untuk menelusuri informasi Freddy.
"Tim ini dibiarkan dulu bekerja sebagai bentuk memulai bagaimana sebuah lembaga itu punya tanggung jawab bersama. Kalau dilihat nanti hasilnya tidak memiliki dampak yang baik bagi kepentingan mengungkap penyalahgunaan narkoba ini, baru itu dipertimbangkan. Sekarang presiden mendengarkan masukan-masukan dulu," ucap Ifdhal.
Ifdhal menuturkan jika investigasi diambil alih, maka tidak ada kesempatan bagi institusi yang terlibat untuk melakukan reformasi kelembagaan.
Meski terdapat adanya keraguan terhadap tim yang terdiri dari unsur internal, Ifdhal mengimbau masyarakat agar tidak terburu-buru meragukan kinerja tim. Selain itu, ia meminta masyarakat untuk ikut mengontrol investigasi yang tengah dilakukan.
"Karena ada harapan besar dari masyarakat tim ini juga akan bekerja dengan sungguh-sungguh juga. Makanya dilihat hasilnya. Jangan meragukan dulu," ujar Ifdhal. (tribunnews/nicolas manafe/kompas.com)