Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melakukan penyelidikan kepada sejumlah perusahaan yang ikut terlibat dalam kasus dugaan korupsi penerbitan izin usaha pertambangan dengan tersangka Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam.
Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keputusan (SK) Izin Usaha Tambang (IUP) kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).
Diduga, kader Partai Amanat Nasional (PAN) ini, menyalahgunakan kewenangannya dalam mengeluarkan SK IUP kepada PT AHB dengan imbalan jasa atau kickback.
Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Komidit Nikel, Syahrul mengatakan, salah satu kewenangan yang disalahgunakan Nur Alam diduga adalah dengan mengubah status kawasan hutan lindung produksi tahun 2011 menjadi hutan produksi yang ditengarai untuk memuluskan wilayah hutan itu menjadi area pertambangan bagi perusahaan.
Perubahan status itu, menurutnya diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 4/5 tahun 2011 yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan.
"Gubernur pada periode pertama mengancam akan membuang perusahaan yang tidak berguna. Setelah diskusi dengan perusahaan ancaman itu berubah jadi 'kawan'. Hasil pertemanan itu adalah menurunkan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi. Dan perubahan itu sepertinya dalam rangka membantu perusahaan untuk bisa menambang di kawasan hutan itu," kata Syahrul di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (30/8/2016).
Atas perubahan itu, Nur Alam kemudian mengeluarkan SK IUP kepada PT AHB untuk mengeksploitasi area yang tadinya hutan lindung itu menjadi area penambangan nikel.
Dengan mengantongi izin dari gubernur, PT AHB kemudian berhak melakukan penambangan di lahan konsesi dengan 3.084 hektare tersebut.
Syahrul menilai, kasus yang menjerat Nur Alam diduga merupakan salah satu bukti telah terjadinya penyerobotan hutan lindung dan hutan konservasi untuk area pertambangan bagi perusahaan.
Padahal jelas, penyerobotan itu dilakukan tidak sesuai undang-undang yang berlaku alias menyalahi aturan.
Koordinator Sumber Daya Alam Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, Dian Patria tak menampik soal perubahan status hutan lindung dan hutan konservasi menjadi area pertambangan.
Dalam catatan pihaknya, ada sekitar 4,9 juta hektare hutan lindung dan 1,3 juta hektare hutan konservasi yang digunakan sebagai area pertambangan.
Menurutnya, banyaknya alih fungsi lahan ini terungkap setelah pertukaran data antara Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Juni 2014.
"Baru diberitahu ke kami (dari pertukaran data itu) ada data 4,9 juta hektare hutan lindung dan 1,3 juta hektare hutan konservasi digunakan untuk pertambangan," kata Dian.
Dian menduga, banyaknya permasalahan alih fungsi lahan tersebut tak lepas dari campur tangan pemerintah daerah yang turut 'bermain' dalam pemberian izin tambang kepada perusahaan. Hal yang mana diduga terjadi pada kasus PT AHB dan Nur Alam ini.
Pada kasus penyalahgunaan wewenang IUP pertambangan, KPK baru menetapkan satu tersangka yakni Nur Alam.
Nur diduga menyalahgunakan kewenangannya memberikan tiga izin tambang kepada PT Anugrah di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
PT Anugrah adalah afiliasi PT Billy. Berdasarkan informasi, PT Billy membeli nikel dari PT Augrah dan dijual kepada Richcorp Internasional yang bermarkas di Hong Kong.
Nur diduga mendapatkan imbalan atau kick back dalam jumlah besar saat mengeluarkan tiga SK dalam kurun waktu 2009-2014.
Pertama, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, ke-dua Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.
Sementara yang ke-tiga adalah SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah.
Berdasarkan Laporan Hasil Analisis dari Pusat Analisis Transaksi Keuangan ditemukan transaksi mencurigakan melibatkan Nur Alam mencapai 4,5 juta dolar AS atau senilai Rp 56,3 miliar.
Uang tersebut berasal dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya dikirim kepada tiga polis AXA Mandiri.
Nur Alam diduga kemudian membatalkan polis tersebut dan dikirim ke beberapa rekening baru.
Tata cara tersebut diduga dilakukan Nur Alam atas bantuan dari seorang ahli keuangan di Kota Kendari untuk menyamarkan.
Selain Nur Alam, KPK juga mencegah tiga orang lainnya. Yakni Direktur PT Billy Indonesia Widi Aswindi, Pemilik PT Billy Indonesia Emi Sukiati Lasimon, dan Kepala Dinas (Kadis) Pertambangan dan Energi Pemprov Sultra Burhanuddin.
Mereka juga dicegah bepergian ke luar negeri untuk enam bulan ke depan.