TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Irman Gusman, kini menjadi buah bibir setelah dikabarkan merupakan inisial IG petinggi DPD yang kena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sabtu (17/9/2016).
Menelusuri jejaknya dulu, Irman Gusman ternyata pernah ingin dilenggerkan dari tampuk pimpinan di DPD RI.
Hal itu bermula saat Rapat paripurna DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/2/2016), berlangsung ricuh.
Mayoritas anggota meminta Ketua DPD Irman Gusman dan Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad selaku pimpinan rapat menandatangani tata tertib yang intinya memperpendek jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Namun, Irman dan Farouk menolak menandatangani tata tertib yang sudah disepakati dalam rapat paripurna luar biasa DPD pada 15 Januari 2016.
Awal mula munculnya usulan untuk mempersingkat masa jabatan pimpinan DPD ini terjadi ketika panitia khusus (pansus) tata tertib dibentuk sekitar delapan bulan lalu.
Rapat paripurna DPD saat itu menyetujui pembentukan pansus untuk merevisi tata tertib sehingga kinerja DPD menjadi lebih baik.
"Karena banyak yang beranggapan DPD selama ini tidak ada output-nya," kata Ketua Pansus Tatib DPD Asri Anas saat dihubungi, Kamis malam.
Pansus pun terus bekerja merumuskan tata tertib baru yang lebih baik.
Salah satu yang diatur adalah mempersingkat masa jabatan seluruh alat kelengkapan, termasuk pimpinan DPD, menjadi hanya 2,5 tahun.
Pansus sepakat bahwa masa jabatan yang dipersingkat membuat kontrol terhadap kinerja pimpinan alat kelengkapan dan pimpinan DPD menjadi lebih baik.
Di sejumlah negara juga, lanjut Asri, pimpinan DPD bahkan rata-rata hanya menjabat selama satu tahun.
"Nanti setiap akhir masa jabatan akan ada laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh setiap pimpinan alat kelengkapan dan pimpinan DPD," ucap Asri.
Akhirnya, pansus pun merampungkan tata tertib dan membawanya ke paripurna pada 16 Januari 2015.
Terjadi perdebatan di bagian tatib yang mempersingkat masa jabatan pimpinan DPD hingga akhirnya diambil voting.
Dari 63 anggota DPD yang hadir, 44 orang setuju masa jabatan pimpinan DPD dipangkas.
Hanya 17 anggota yang mendukung masa kerja pimpinan DPD tetap lima tahun. Sementara dua anggota memilih abstain.
Kini Asri pun heran mengapa Irman dan Farouk bersikukuh tidak mau menandatangani tatib yang telah disepakati bersama itu.
Padahal, kata dia, tanpa tanda tangan pimpinan pun tatib tetap berlaku karena merupakan putusan paripurna.
Asri bersama 44 anggota lainnya yang sudah menyetujui masa jabatan pimpinan DPD dipangkas berencana melayangkan mosi tidak percaya terhadap Irman.
Asri tetap berharap agar Irman bersama dua wakilnya, yaitu Farouk Muhammad dan GKR Hemas, mau berbesar hati menandatangani tatib tersebut.
Dia membantah bahwa tatib itu sengaja ditujukan untuk menggoyang kursi ketiga pimpinan DPD saat ini.
Bahkan Sikap Irman Gusman dan Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad yang meninggalkan ruang sidang paripurna DPD, Kamis (17/3/2016) malam, dikecam sejumlah anggota DPD.
Anggota DPD Benny Ramdhani menuturkan, sebelum sidang paripurna, telah disepakati untuk membentuk panitia khusus yang membahas persoalan revisi Tata Tertib DPD.
"Atas sikap Ketua DPD dan pimpinan DPD, maka kami dengan sadar 62 nama yang di awal mendukung Tatib (direvisi) akan menindaklanjuti dengan pernyataan mosi tidak percaya kepada pimpinan," kata dia.
Disisi lain Irman Gusman melawan dan menganggap ketentuan tersebut melanggar Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Hal tersebut disampaikan Irman dalam lampiran Surat Pimpinan DPD ke Pimpinan Badan Kehormatan DPD.
Dalam surat bernomor HM.310/211/DPD/III/2016 11 Maret 2016 tentang Tindak Lanjut Penandatanganan Tata Tertib DPD RI itu, Irman menegaskan bahwa ketentuan pemotongan masa jabatan menyimpang dari praktik ketatanegaraan yang diatur dalam UU MD3.
"Seharusnya siklus pemilu dan masa keanggotaan DPD berlaku mutatis mutandis (perubahan yang perlu) terhadap masa jabatan pimpinan DPD, yaitu selama lima tahun," ujar Irman.
"Sebagaimana juga berlaku untuk masa jabatan pimpinan MPR RI, pimpinan DPR RI, serta pimpinan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota," kata dia.
Selain bertentangan dengan UU MD3, lanjut Irman, proses pembentukan tatib itu juga menyimpang dengan ketentuan dalam Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Karena mengandung ketentuan-ketentuan yang dikategorikan sebagai cacat hukum, maka draf tatib yang diputuskan dalam sidang paripurna ketiga tanggal 15 Januari 2016 dikategorikan non-executable atau tidak dapat dilaksanakan," ujar Irman.
Dalam perjalanannya, tiga pimpinan DPD akhirnya sepakat untuk menandatangani rancangan perubahan Tata Tertib DPD. Pimpinan yang sepakat termasuk di antaranya Irman Gusman dan Farouk Muhammad yang sebelumnya sempat menolak keras draf itu.
Kesepakatan itu diambil setelah pimpinan menggelar rapat panitia musyawarah (panmus) dengan alat kelengkapan DPD.
Proses penandatanganan tersebut dilakukan di ruang sidang paripurna DPD di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jumat (29/4/2016).
Sebelum proses itu dilakukan, Wakil Ketua DPD GKR Hemas yang memimpin sidang sempat meminta persetujuan anggota yang hadir.
"Apakah dapat disetujui penandatanganan rancangan perubahan Tata Tertib DPD ini?" tanya Hemas.
"Setuju," jawab semua anggota yang hadir.
Hemas mengatakan bahwa setelah rancangan tersebut ditandatangani, maka akan dibentuk panitia khusus guna membahas revisi Tatib tersebut. Hal itu sesuai dengan rekomendasi Badan Kehormatan DPD yang diberikan saat rapat panmus.
Untuk diketahui, draf rancangan Tatib DPD yang disetujui yakni draf B. Pengambilan persetujuan itu sebelumnya dilakukan saat sidang paripurna pada 15 Januari lalu.
Salah satu poin penting di dalam perubahan itu yakni dipangkasnya masa jabatan pimpinan alat kelengkapan, termasuk pimpinan DPD, dari lima tahun menjadi 2,5 tahun.
Dengan penandatanganan tersebut, maka konflik internal DPD yang terjadi sebelumnya dapat diredam.