Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadkusumo menolak pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Uandang-Undang (Perppu) No. 1 tahun 2016 menjadi Undang-Undang.
Perppu itu telah disahkan dalam siang Paripurna DPR RI, Rabu (12/10/2016).
"Kami mendukung langkah untuk memperberat sanksi bagi pelaku, tapi UU Kebiri ini sulit dilaksanakan. Maka Fraksi Gerindra menolak Perppu ini menjadi UU," kata Saraswati di Gedung DPR RI, Jakarta.
Rahayu Saraswati menuturkan, ada 99 Ormas pegiat anak-anak seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), LBH Apik, Walhi, Kontras, dan lainnya juga menolak Perppu tersebut.
"Kok kita dianggap tidak pro perlindungan anak. Menkumham RI juga tak pernah hadir dan hanya diwakilkan," ucapnya.
Ia merasa aneh Perppu Perppu tersebut disahkan tapi akan direvisi.
"Padahal, UU Perlindungan Anak tahun 2015 sudah direvisi untuk yang ketiga kalinya," ucap Rahayu Saraswati.
Sementara itu di tempat yang sama, Ketua Komnas Perempuan Azriana menegaskan menolak diberlakukannya Perppu Kebiri.
Dirinya beralasan, penolakan terhadap hukuman kebiri sudah diterapkan di Inggris, Jerman, dan Denmark.
Hasilnya hukuman itu justru tidak mengurangi kejahatan kekerasan seksual anak.
"Biaya kebiri untuk satu orang per 3 bulan Rp 700 ribu, sehingga kalau pelakunya banyak, maka anggaran negara yang dikeluarkan juga besar. Jadi, biayanya cukup mahal," kata Azriana.
Sementara untuk biaya visum kepada korban tidak dianggarkan pemerintah, melainkan biaya sendiri.
Sedangkan pemulihan korban memakan waktu sampai puluhan tahun.
"IDI juga menolak terlibat, karena melanggar kode etik kedokteran, tidak berperikemanusiaan, melanggar hukum HAM," ucapnya.
"Ditambah carut-marutnya proses hukum itu sendiri. Sedangkan UU yang ada belum dilaksanakan secara optimal," tambah Azriana.