Oleh: Masykurudin Hafidz, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat
TRIBUNNERS - Latar belakang agama tidak membatasi seseorang menjadi pejabat publik. Identitas primordial tidak menghalangi untuk terlibat dalam urusan pemerintahan.
Hal ini tercermin dalam proses pencalonan pilkada serentak 2017. Sekedar menyebut sebagai contoh selain DKI Jakarta, di mana pasangan calon terdiri dari latar belakang agama erbeda-beda.
Bukti nyata, misalnya, di Singkawang, Yapen, Ambon, Kepulauan Sangihe, Tapanuli Tengah, Landak, Buleleng, Kupang dan Tapanuli Tengah. Seluruh identitas agama ada dalam komposisi calon di pilkada serentak gelombang kedua ini.
Jauh lebih utama tidak menggunakan isu SARA sebagai alat kampanye, tetapi lebih mengedepankan adu gagasan dan konsep perbaikan dan kemajuan daerah.
Mengisi hari-hari kampanye dengan penyampaikan program akan jauh lebih menarik bagi masyarakat daripada menggunakan isu primordial.
Alangkah indahnya jika perdebatan yang muncul jelang pilkada adalah program kebijakan masing-masing calon dengan tolok ukur yang kuantitatif terhadap keuntungan dan kerugian yang diakibatkan dari kebijakan tersebut.
Demikian juga sejauh mana adu konsep para calon dapat diterapkan baik secara jangka pendek maupun jangka panjang.
Mari kita sudahi isu primordial sebagai alat untuk menjatuhkan, lebih menggunakan sebagai kekuataan bersama untuk maju ke depan.