News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wiranto Jadi Menko Polkam, Bagaimana Perasaan Ibu-ibu yang Anaknya Dibunuh saat Peristiwa Semanggi?

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Harbrinderjit Singh Dillon atau dikenal dengan nama HS Dilon (71), tokoh Hak Asasi Manusia Indonesia dan ekonom serta pengamat pertanian kelahiran Medan, Jumat (14/10/2016). KORESPONDEN TRIBUNNNEWS/RICHARD SUSILO

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengangkatan Jenderal TNI (Purn) Wiranto sebagai Menko Polkam oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) ternyata masih banyak dipertanyakan masyarakat Indonesia.

Terutama terkait beberapa kasus di masa lalu saat Wiranto masih menjabat sebagai Panglima ABRI.

"Ingat tidak mahasiswa meninggal kasus Semanggi dan Trisakti dulu?" tanya Harbrinderjit Singh Dillon atau dikenal dengan nama HS Dilon (71), tokoh Hak Asasi Manusia Indonesia dan ekonom serta pengamat pertanian kelahiran Medan khusus kepada Tribunnews.com, Jumat (14/10/2016).

Dillon menganggap semua itu tanggung jawab Wiranto.

"Saya tak mengeti mengapa Jokowi mengangkat Wiranto jadi Menko Polkam? Lihat, bagaimana perasaan ibu-ibu yang anaknya dibunuh saat peristiwa Semanggi dan Trisakti?" tanya dia.

Sejarah itu menjadi memori yang kurang baik.

"Padahal begitu banyak perwira bisa jadi Menko Polkam, mengapa mesti dia? Bagaimana perasaan ibu-ibu yang setiap Kamis sampai kini tetap unjuk rasa pakai payung di depan Istana Negara?" kata Dillon.

Bahkan menurut Dillon, ada anggota pengunjuk rasa damai itu yang telah meninggal karena usia.

"Kita tak berperikemanusiaan. Bahwa Wiranto tak pernah terbukti bersalah memang betul, karena tak pernah dibuat pengadilan yang betul-betul untuk hak asasi manusia," ujarnya.

Semua kasus yang melibatkan Wiranto tersebut menurut Dillon hanya dijadikan perkara kriminal biasa.

"Dibuat perkara kriminal dan dibikin agar tak bisa menjadi unsur widespread dan sistemik. Padahal inilah prasyarat untuk bisa dikatakan crime against humanity," kata dia.

Dengan demikian, menurut Dillon, morally menjadi kasus yang dikerdilkan oleh kejaksaan.

"Demikian pula kasus tahun 1965 dengan bukti yang tidak cukup. Juga kasus Pulau Buru. Tentu saja karena semua telah banyak yang telah meninggal jadi tak cukup bukti lagi. Jadi kita sebenarnya crisis against human right," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini