News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

12 Tahun Perjuangan Suciwati, 'Nyawa Kami Masuk Sayembara'

Penulis: Valdy Arief
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Istri aktivis Munir, Suciwati menggelar aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (8/9/2016). Dalam aksi yang ke-458 tersebut, mereka kembali meminta penyelesaian serta kejelasan kasus pelanggaran HAM di masa lalu terutama kasus pembunuhan munir yang telah 12 tahun berlalu. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

"Perintah Presiden Joko Widodo kepada Jaksa Agung beberapa waktu lalu tidak menjawab persoalan ini." Suciwati, istri Aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib.

TRIBUNNEWS.COM -- Kekecewaan Suciwati itu disampaikan saat merespons Presiden Joko Widodo dalam menindaklanjuti keputusan Komisi Informasi Pusat terkait hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir. Bagi Suciwati perintah Presiden Jokowi kepada Jaksa Agung untuk menemukan dokumen tersebut tidak akan menjawab akar permasalahan.

Suciwati mengatakan, sejak putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) No. 025/IV/KIP-PS-A/2016 tanggal 10 Oktober 2016, seharusnya Presiden Jokowi menyatakan kesediaannya untuk membuka hasil TPF kasus Munir kepada publik.

12 tahun Suciwati mencari keadilan dalam pengungkapan kasus pembunuhan sang suami yang tewas diracun dalam perjalanan dari Singapura menuju Belanda. Terakhir, bersama KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan), Suciwati menggugat pemerintah terkait hasil tim pencari fakta pembunuhan Munir melalui Komisi Informasi Publik (KIP). Dalam putusan yang keluar pada 10 Oktober silam, pemerintah diharuskan membuka hasil investigasi soal kematian Munir.

Kepada Tribun, Suciwati mengaku tidak mudah memperjuangkan keadilan dalam mengungkap dalang pembunuhan sang suami. Selain harus menelan kesedihan karena sang suami direnggut paksa darinya, Suciwati kerap mendapati ancaman. Jumlahnya pun tidak bisa dia hitung lagi.

Suciwati menyebutkan saat TPF masih bekerja saja, mulai telepon gelap sampai surat kaleng pernah dia hadapi.

"Ada surat yang beri tahu kalau kami disayembarakan dan ada nilai yang diberikan untuk kami," sebutnya di kantor KontraS, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (19/10).

Dalam surat tanpa pengirim jelas itu, diberitahukan bahwa ada imbalan bagi orang yang bisa menculik atau menghilangkan nyawanya.

Pernah pula, anaknya didatangi seorang laki-laki saat bersekolah. Kepada guru anak Suciwati, orang itu mengaku ingin memberikan pengamanan. "Saya bilang ke dia, kami ngak minta pengawalan. Ini malah jadi seperti menakut-nakuti," ungkapnya.

Namun, hal itu tidak membuat Suciwati gentar. Dia sadar akan resiko hidup dalam kegiatan membela hak orang lain yang dirampas memang tidak mudah. "Saya abaikan saja yang negatif seperti itu. Kami tidak mau terjebak dalam ketakutan," tuturnya.

Kelola Museum
Saat ini, selain tetap berupaya membuka tabir kelam kasus penghilangan nyawa suaminya, Suciwati sibuk mengelola museum untuk mengenang perjuangan Munir. Tempat yang dinamakan Omah Munir itu terletak di Batu, Malang, Jawa Timur.

Ia juga tengah menyusun modul pendidikan HAM untuk tingkat SMP dan SMA bersama Kementerian Agama. "Saat menikah saya jadi ibu rumah tangga. Setelah Munir meninggal, saya kembali dalam aktivisme. Dulu kan saya aktivis buruh, bertemu Munir juga di dunia aktivis," katanya.

Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla genap dua tahun berjalan. Dalam waktu yang sama pula jutaan rakyat Indonesia masih menunggu janji masa kampanye untuk dipenuhi.

Di antara yang masih setia menanggih janji adalah sejumlah keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Mereka tetap berdiri mengenakan baju hitam dan payung berwarna sama sembari menghadap Istana setiap Kamis sore.

Kamisan di Istana

Suciwati pun memiliki kegiatan lain. Bersama Maria Katarina Sumarsih, ibu dari korban tragedi Semanggi 1 Bernardus Realino Norma Irawan (Wawan), mereka tidak pernah absen dalam aksi tersebut. Suciwati dan Sumarsih lalu membentuk JSKK (Jaringan Solidaritas Keluarga Korban).

Aksi Kamisan telah mereka mulai sejak Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tepatnya pada 18 Januari 2007. Hingga rezim kekuasaan berganti, para keluarga korban pelanggaran HAM masih berdiri setiap Kamis sore di depan kantor presiden.

Sumarsih selaku Koordinator Kamisan yang juga menjadi Presidium JSKK, menyebut dalam dua tahun Pemerintahan Jokowi, dia merasa tidak ada perkembangan serius dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Malah, Sumarsih menyebut hambatan dalam penyampaian pendapat semakin banyak.

"Sejak presiden yang baru, depan Istana diberi kawat," kata Sumarsih di kediamannya, Meruya, Jakarta Barat, Rabu (19/10). "Kadang kami juga dilarang menggunakan TOA (pengeras suara)," sambungnya.

Bahkan, pada Agustus silam, peserta Kamisan sempat disuruh mundur lebih jauh beberapa meter dari gerbang Istana. Mereka diminta menyampaikan pendapatnya dari Taman Pandang Istana yang letaknya semakin jauh dari lokasi awal. "Pernah sekali diminta geser ke sana, setelah saya protes, bisa kembali ke tempat semula," ujar Sumarsih.

Selama mantan Walikota Solo itu memimpin Indonesia, JSKK sudah tiga kali mengirimkan surat permohon untuk bertemu sang kepala negara. Namun, tidak satu kali pun mendapat tanggapan yang dianggap Sumarsih serius.

Hal tersebut sangat disayangkan para korban pelanggaran HAM yang sempat dijanjikan penyelesaian oleh Jokowi. Terlebih presiden bertubuh ramping itu terkenal senang menyapa rakyatnya.

"Jokowi kan senang blusukan kemana-mana, ini yang di depan Istana saja tidak pernah disapa," kata pensiunan pegawai negeri sipil ini. Janji penyelesaian masalah HAM yang digemborkan pada masa kampanye, dianggap JSKK tidak lebih dari manuver politik belaka.

Namun, Sumarsih optimis suatu saat hati pemimpin negara ini dapat terketuk melihat rakyatnya yang tetap setia berdiri setiap Kamis sore untuk menagih janji. "Air yang menetes perlahan di atas batu, perlahan akan mengikis juga,".

Dia juga menyebut banyak orang yang mendapat manfaat karena mempelajari aksi mereka, turut memberi semangat tersendiri. "Ada mahasiswa yang meneliti perjuangan kami, lulus dengan nilai baik dan diangkat jadi asisten dosen. Tidak lama dia dapat beasiswa ke Inggris. Biar pemerintah tidak peduli, ada hal-hal seperti ini yang memberi kami semangat saat mencari kebenaran," tuturnya.

Meski demikian, Istri mendiang Munir Said, Suciwati mengaku sudah tidak menaruh harapan pada sosok Joko Widodo. Terlebih setelah iring-iringan kendaraan Sang Presiden yang lewat begitu saja di depan massa Aksi Kamisan beberapa waktu silam. "Kami sudah capek dibohongi dan diberi angin surga," sebutnya.

Harapan Suciwati akan adanya proses dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia semakin pupus setelah perombakan anggota Kabinet Kerja terakhir. Menurutnya, Jokowi malah memasukkan orang yang terlibat pelanggaran HAM sebagai pembantunya.

Selain itu, terbunuhnya petani sekaligus aktivis anti-tambang dari Lumajang, Salim Kancil sebagai tanda kegagalan pemerintahan ini dalam menegakan hukum. "Bagaimana bisa Salim Kancil dibunuh di jaman yang begitu terbuka seperti sekarang," sebut Suciwati.

Setelah berjalan hampir 10 tahun dari aksi perdananya, Kamisan tidak hanya berlangsung di Jakarta. Ada kota-kota besar lain di Indonesia yang melaksanakan kegiatan serupa, seperti Bandung, Yogyakarta hingga Pekanbaru dengan tuntutan sama. (valdy arief)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini