TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - TNI Angkatan Udara bertahun-tahun merasa harus mengalah dan dirugikan terus-menerus oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI).
Dalam hal suku cadang pesawat, misalnya, PTDI dinilai tidak dapat memenuhi dan mendukung kesiapan pesawat yang telah diserahkan kepada TNI AU.
Akibatnya, kesiapan pesawat TNI AU terus menurun. Pesawat tidak bisa digunakan pada saat dibutuhkan.
Kondisi seperti ini telah terjadi sejak lama hingga saat ini sehingga menimbulkan akumulasi kekecewaan bagi TNI AU terhadap industri strategis plat merah ini.
Menurut Koordintator Staf Ahli (Koorsahli) KSAU Marsda TNI Usra Hendra, sorotan lain TNI AU terhadap PTDI juga karena selama ini PTDI juga ingkar terhadap komitmennya.
Mulai dari penyerahan pesawat yang tidak tepat waktu dan tidak lengkap sesuai pesanan hingga penyediaan suku cadang.
Terkait pesawat C295 misalnya, pria yang akrab disapa Ucok itu menyoroti bahwa pesawat ini bukan buatan PTDI tapi dikatakan sebagai buatan anak bangsa.
“Kita membeli CN295, buatan siapa, orang mengatakan itu buatan PTDI, apakah kita berbohong? Pasti itu berbohong. Istilah CN295 tidak ada. Huruf N itu PTDI menambahkan sendiri,” ujar Ucok.
Ucok juga menyampaikan, dalam perjanjian awal pembelian C295 disepakati bahwa sebanyak dua pesawat akan dibuat dan dirakit di Spanyol oleh Airbus dan tujuh sisanya akan dirakit di PTDI.
Kenyataannya, rumus tersebut dibalik oleh PTDI sehingga hanya dua yang dirakit di Bandung.
"Lalu apa implikasinya bila kita membeli pesawat dengan mengaku bahwa pesawat itu buatan kita? “Kita kehilangan offset. Kehilangan imbal balik dagang yang at least 35%. Apakah itu menguntungkan negara? Tidak. Apakah kita hebat di mata rakyat bahwa kita bisa membuat pesawat itu? Temporary iya, tapi lambat laun masyarakat akan tahu bahwa kita berbohong,” lanjut Koorsahli KSAU.
Kembali ke penyediaan suku cadang pesawat yang dinilai payah, Ucok kembali menguraikan, “Kalau PTDI tidak mampu menyediakan suku cadang, apakah kita harus beli ke Airbus di Spanyol? Lewat siapa? Ya tentu harus lewat PTDI. Apakah lebih murah? Tentunya lebih mahal karena melalui pihak kedua.”
FGD penguatan industri pertahanan mengundang lima pembicara namun hanya empat pembicara yang hadir. Yakni Prof. Tjipta Lesmana, Al Araf, Dr Connie Rahakundini Bakrie, dan Kolonel Lek Rujito. Acara dihadiri kurang lebih 60-an audiens.