News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kritik TNI AU Bukan untuk Menghantam PTDI

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah pekerja menyelesaikan bagian dalam saat pembuatan helikopter Super Puma NAS 332 untuk TNI AU di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terkait kritik yang disampaikan Koordinator Staf Ahli KSAU Marsda TNI Usra Hendra Harahap kepada PTDI, Kolonel Lek Rujito menjelaskan hal tersebut sama sekali bukan untuk menghantam industri pertahanan itu.

Penjelasan ini disampaikan Rujito dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Penguatan Peran Industri Pertahanan Dalam Rangka Mendukung Kesiapan Alutsista TNI” di Jakarta, (1/11/2016).

“Pak Ucok (sapaan Marsda Usra) mengatakan, kita mendorong PTDI supaya baik dan mampu memenuhi kebutuhan TNI AU.”

Baca: 2 Narasumber Ini Terlibat Perdebatan Serius Soal Kinerja PTDI dan Kebutuhan TNI AU

Dilanjutkan Rujito, TNI atau militer merupakan kekuatan penggerak (driving force) bagi tumbuhnya industri pertahanan.

“Apa yang diinginkan oleh TNI atau militer itulah yang seharusnya dipenuhi. Kita perlu tahu, bahwa salah satu tugas TNI AU adalah membangun kekuatan. Jadi kalau TNI AU memilih sebuah helikopter tertentu itu sah-sah saja, karena itu berdasarkan masukan dan sesuai dengan kondisi yang relevan saat ini.”

Rujito menduga, masyarakat sipil saat ini lebih mengetahui tugas-tugas TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP).

Akibatnya kemudian, seolah-olah TNI bisa mengesampingkan tugas utama di mana TNI sesungguhnya sebagai organisasi perang.

“Saya kira ini yang harus lebih disosialisasikan kepada masyarakat agar dipahami. Kekuatan perangnya dulu yang harus dibangun, baru setelah itu tugas operasi militer selain perang,” papar Rujito.

Hanya perantara

Pembicara lain dalam acara itu, Al Araf, juga menyampaikan pandangannya.

Baca: Kritik Pedas TNI AU terhadap Kinerja PTDI

Dikatakan oleh Al Araf, dinamika industri pertahanan sesungguhnya hanyalah salah satu bagian dari upaya kita untuk meningkatkan kapabilitas kekuatan pertahanan guna menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi.

“Jadi, jangan kemudian kita terjebak dalam spektrum yang mendiskusikan seolah-olah industri pertahanan itu terlepas dari bingkai kita ingin membangun kekuatan pertahanan yang kuat,” ujar Al Araf.

Konsekuensinya apa? “Membangun industri pertahanan itu sebuah keharusan. Akan tetapi, membeli alutsista dari luar negeri pun bukan sesuatu yang dosa bila industri di dalam negeri belum mampu membuatnya. Sementara dari sisi pengguna, justru alutsista tersebut lah yang sebenarnya dibutuhkan.”

Baca: TNI AU: Pesawat C295 Bukan Buatan PTDI, Lambat Laun Masyarakat Akan Tahu Itu Bohong

Kemudain, lanjut Al Araf, jangan sampai ada pikiran bahwa peningkatan anggaran pertahanan merupakan beban bagi negara.

“Peningkatan anggaran pertahanan dan keamanan justru berkontribusi pada pencegahan hilangnya kekayaan dan sumber-sumber daya alam di Indonesia yang nilainya triliunan rupiah. Ekonomi, keamanan, dan politik harus dibangun bersama,” ujarnya.

Dengan mengabaikan aspek keamanan, negara tidak bisa membangun ekonomi dan politiknya dengan baik.

Terkait pengadaan alutsista, Al Araf menegaskan ulang bahwa pengadaan dari luar negeri bukanlah sesuatu yang salah.

“Undang-undang nomor 16 Tahun 2012 tidak mengharamkan pengadaan alutsista dari luar negeri. Hal ini dimungkinkan bila industri dalam negeri belum mampu membuat alutsista yang dibutuhkan,” ujarnya.

Mengharuskan pengadaan dari dalam negeri, itu bagus. Pertanyaannya, apakah memang betul industri dalam negeri sudah benar-benar mampu membuat dan memproduksi alutsista? “Jangan sampai industri dalam negeri hanya jadi perantara saja dalam untuk mengadakan alutsista,” tutup Al Araf.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini