TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda, merupakan kelalaian aparat keamanan memantau pergerakan mantan narapidana kasus terorisme.
Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Tubagus Hasanuddin, mengungkapkan, satu dari tiga pelaku pelempar bom molotov yang tertangkap diketahui bernama Joh alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia yang pernah dipenjara dalam kasus terorisme.
Joh sendiri, kata Tubagus Hasanuddin, pernah menjalani hukuman pidana sejak 2012 akibat terlibat kasus peledakan bom buku di Jakarta pada 2011.
Ia-pun divonis 3,5 tahun dan dinyatakan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi Idul Fitri pada 28 juli 2014.
"Kalau bebas bersyarat, berarti dia kan wajib lapor. Tentunya, napi yang bebas bersyarat kan wajib dipantau oleh polisi. Apalagi kasusnya terorisme. Kok dia bisa pergi ke Kalimantan. Apalagi sampai bisa ngebom," ujar Tubagus Hasanuddin dalam keterangan pers, Senin (14/11/2016).
Ironisnya, sambung Tubagus Hasanuddin, kasus pelemparan bom molotov itu merenggut nyawa seorang balita.
"Memang pelaku melempar bom molotov. Tapi, faktanya ada korban jiwa. Ini kan sebuah ironis," tutur Tubagus Hasanuddin.
Oleh karena itu, Politikus PDIP itu meminta Polri, BIN dan BNPT untuk meningkatkan pengawasan terhadap jaringan orang-orang yang sudah masuk dalam daftar pengawasan terorisme dan yang pernah berhubungan.
Selain itu, data intelijen dari semua elemen intelijen dikompilasikan secara komprehensif, agar menghasilkan kesimpulan intelejen yang akurat.
"Data akurat itulah dapat digunakan untuk melakukan pemberantasan teroris di lapangan. Tanpa data akurat kita akan kecolongan," pungkas Tubagus Hasanuddin.
Sebelumnya, ledakan diduga berasal dari bom molotov terjadi di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur pada Minggu sekitar pukul 10.00 Wita.
Akibat teror bom ini, satu anak balita meninggal dunia. Sementara tiga balita lainnya mengalami luka bakar.