TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hingga Kamis (17/11/2016) pukul 17.30 WIB, sebanyak 22.738 orang meneken petisi mendukung perlindungan hukum bagi Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait tuduhan penistaan agama.
Petisi di change.org yang dibuat Nyoman Samuel Kurniawan dari Denpasar ini menargetkan dapat dukungan sebanyak 25 ribu orang.
Dalam petisinya, Nyoman menilai dalam beberapa bulan ini Ahok diserang secara bertubi-tubi dengan berbagai tuduhan yang mengarah pada kriminalisasi (termasuk diantaranya mengenai kasus Sumber Waras) yang nampaknya mengandung target politis, untuk menghentikan langkah beliau berkompetisi dalam Pilkada DKI 2017 mendatang.
"Tuduhan yang terbaru adalah Penistaan Agama! Tuduhan ini sungguh keji dan terlalu dipaksakan," tulis sang pembuat Petisi "Perlindungan Hukum Bagi Pak Ahok Atas Tuduhan Penistaan Agama" (https://www.change.org/p/kami-dukung-perlindungan-hukum-bagi-pak-ahok-atas-tuduhan-penistaan-agama).
Nyoman juga menilai ada yang tidak tepat atas penetapan tersangka terhadap Ahok.
Dari sudut ketentuan hukumnya, mengenai penistaan agama, mengacu kepada Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya disebut UU 1/PNPS/1965).
Dijelaskan UU ini awalnya hanya berbentuk Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965. Melalui UU No. 5 Tahun 1969, Penetapan Presiden itu dinyatakan menjadi Undang-Undang.
Kemudian Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP).
Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Bagaimana mekanisme penerapannya?
Pertama, Peringatan keras. Yakni bila ada orang yang melanggar aturan ini maka akan diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu melalui Surat Keputusan Bersama (“SKB”) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Bila yang melanggar adalah organisasi atau aliran kepercayaan maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan atau menyatakan aliran terlarang organisasi atau aliran itu setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Kedua, Pemidanaan, apabila, setelah tindakan di atas telah dilakukan, tetapi masih terjadi pelanggaran ketentuan Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 itu maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.
Selain itu, dalam KUHP juga telah ditambahkan Pasal 156a, yang menyatakan bahwa dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: