TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPR Setya Novanto tidak seharusnya kembali menjabat ketua DPR.
Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donald Faris, menyebut seharusnya nama baik Setya novanto atau yang akrab dipanggil Setnov di DPR itu tidak bisa dipulihkan.
Setnov sempat divonis bersalah melanggar etika oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Putusan tersebut diambil berdasarkan putusan Mahkamah Konstitus (MK) yang diajukan Setnov, yang memutuskan bahwa bukti rekaman tidak bisa dijadikan dasar sebuah kasus.
Baca: Mendadak Dicopot dari Ketua DPR, Ade Komaruddin Pasrah
Baca: Gerindra Berharap Pergantian Ketua DPR Tak Munculkan Dinamika Baru
Alhasil MKD merehabilitasi nama Setnov.
"Putusan MK tidak relevan untuk dijadikan bukti untuk meninjau kembali putusan Mahkamah Kehormatan Dewan," katanya.
Setnov diproses di MKD pada akhir 2015 lalu, setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu Sudirman Said, menyerahkan bukti rekaman suara yang menunjukan Setnov meminta jatah saham ke Direktur Utama PT. Freeport Indonesia saat itu, Maroef Sjamsoeddin.
Setelahnya Setnov pun memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR.
Lengser dari DPR kemudian Setnov sukses merebut kursi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar.
Setelahnya Setnov mengajukan gugatan ke MK terkait alat bukti rekaman.
Gugatannya tersebut kemudian dimenangkan pada pertengahan September lalu, dan MK memutuskan bahwa bukti rekaman bukanlah alat bukti mengikat.
Atas dasar tersebut, Setnov mengajukan permohonan ke MKD agar namanya dipulihkan.
Donald Faris menyebut putusan MK itu jatuh pada pertengahan September lalu, sedangkan putusan MKD soal kasus "Papa Minta Saham" sudah dijatuhkan pada akhir tahun lalu.
Kata dia, seharusnya sebuah keputusan hukum tidak bisa berlaku mundur.
"Putusan MK ditarik (mundur) ke belakang untuk mencuci ini," terangnya.