TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Ekektronik (ITE) dinilai akan mengembalikan fungsi aturan itu untuk mengatur masalah Informasi Teknologi.
Revisi itu resmi berlaku setelah melewati 30 hari sejak disahkan menjadi UU pada 27 Oktober 2016. Dan mulai berlaku, pada Senin (28/11/2016). Setidaknya ada tujuh poin perubahan.
"Sebenarnya revisi UU ITE bulan lalu di DPR hanya bersifat 'Minor Revision' saja, karena meliputi 7 hal, meski cukup krusial," ujar pakar telematika, Roy Suryo, kepada wartawan, Senin (28/11/2016).
Salah satu perubahan di UU ITE yang baru mengenai menurunkan ancaman pidana dua ketentuan sebagai berikut:
a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 Miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 Miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
Menurut dia, pengurangan ancaman pidana itu bersifat melepaskan penggunaan UU ITE itu sebelumnya untuk kasus-kasus sepele yang tujuannya sekedar membuat atau 'asal ditahan' karena ancaman hukuman di atas lima tahun di atas.
"Jadi kalau menurut saya lebih kepada mengembalikan marwah UU-ITE kembali kepada penggunaannya ke soal-soal IT, bukan sekedar 'Pencemaran Nama Baik' semata," kata dia.
Kemudian di revisi itu menambahkan ketentuan mengenai 'Right to be Forgotten' atau 'Hak Untuk Dilupakan'. Penjelasan mengenai peran Penyidik Pegawai Negari Sipil (PPNS) dalam UU ITE dan Mekanisme Penyadapan serta Detail.