News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Demi Reformasi Hukum, MA Didesak Segera Terbitkan Putusan Kasus JIS

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung didesak untuk segera menerbitkan salinan putusan Kasasi dalam kasus kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS) dengan terpidana lima orang petugas kebersihan.

Pakar hukum pidana Universitas Nasional, Azmisyah Putra mengatakan, penerbitan salinan putusan itu merupakan salah satu bukti bahwa MA serius mereformasi hukum di Indonesia.

"Karena itu menyangkut perjuangan seseorang dalam mencari keadilan," kata Azmisyah di Jakarta belum lama ini.

Azmisyah mengatakan, penyerahan salinan putusan kasasi itu merupakan syarat bagi para terpidana untuk mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni Peninjauan Kembali. Penyerahan salinan itu sekaligus memberikan kepastian hukum bagi terpidana bahwa mereka memang menerima vonis seperti yang disebutkan selama ini.

"Jadi kalau ada orang yang merasa tidak terpenuhi hak-hak hukumnya, dia bisa menentukan langkah selanjutnya demi mencari keadilan," ujar Azmisyah.

Pada 28 Juli 2015 lalu, MA menolak kasasi yang diajukan para terpidana dan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun hingga 1,5 tahun berlalu, salinan putusan itu belum diserahkan oleh Mahkamah Agung sehingga upaya hukum PK oleh terpidana masih terganjal.

Dalam tataran akademis, Azmisyah meyakini penerbitan putusan Kasasi bukan merupakan hal yang rumit. Sebab, amar putusan tersebut sudah ada dan harusnya tinggal dipublikasi sehingga bisa memberikan kejelasan secara hukum. Karena itu, dia menganggap belum terbitnya salinan putusan Kasasi kelima petugas kebersihan yang telah diputuskan sejak 1,5 tahun lalu, adalah sesuatu yang janggal.

"Sekarang semua publikasi kan serba mudah, harusnya hari ini diputuskan besoknya sudah ada salinannya," ujar dia. Azmisyah pun menyatakan, keseriusan MA dalam mereformasi hukum bisa diragukan jika dalam publikasi salinan putusan saja justru mengundang tanda tanya. "Karena penundaan penerbitan salinan putusan itu justru menjadi celah pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan keadaan," lanjut Azmisyah.

Sementara itu, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting mengatakan, masih ada celah-celah hukum yang mesti diperbaiki secara serius oleh negara. Dalam kasus JIS, salah satu poin yang mesti dibenahi adalah implementasi sistem peradilan itu sendiri. Dia menganggap dalam kasus JIS ini majelis hakim mengambil keputusan tidak berdasarkan kepastian alat bukti di persidangan.

Menurut Miko, hasil visum siswa JIS yang disebut menjadi korban kekerasan seksual secara materi sudah tidak memenuhi syarat kepastian hukum. Sebab, empat hasil tes tidak membuktikan bahwa sang anak mengalami luka seperti yang diklaim selama ini. Hal itu juga semakin menguatkan bukti bahwa enam petugas kebersihan yang menjadi terpidana mesti dibebaskan.

"Hakim dalam memutuskan tidak boleh ada unsur keragu-raguan, jadi putusan hakim patut dipertanyakan jika memutuskan berdasarkan hasil visum yang materinya diragukan," kata Miko. Selain itu, dia juga menuntut pemerintah meminta maaf secara terbuka terhadap para terpidana JIS. Hal itu karena enam terpidana itu sudah dilanggar hak-haknya akibat proses hukum yang dianggap tidak memenuhi prosedur yang seharusnya.

Adapun Fauzan Lu, aktivis gerakan solidaritas Kawan8, menyatakan perlu dorongan publik yang besar untuk mengungkap kebenaran kasus ini. Sebab, dia melihat selama ini hakim cenderung mengeluarkan putusan yang sangat dipengaruhi oleh opini publik. "Selama ini hakim cenderung memuaskan opini publik saja, tidak berdasarkan fakta-fakta persidangan," kata Fauzan.

Saat ini, gerakan solidaritas Kawan8 fokus pada perjuangan mereka agar keenam petugas kebersihan itu dapat dibebaskan. Fauzan yakin mereka tidak bersalah, namun mesti dipidana lantaran menjadi korban rekayasa kasus dan investigasi dengan niat jahat. “Kami juga juga ingin mendukung para korban ini untuk memulihkan nama baik mereka beserta keluarganya, karena hukuman sosial yang mereka derita juga sangat besar," kata Fauzan.

Kasus ini berawal saat enam petugas kebersihan di JIS dituduh sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap seorang murid berinisial MAK. Mereka adalah Afrischa, Virgiawan Amin, Zainal Abidin, Agun Iskandar, Syahrial, dan Azwar (alm). Azwar meninggal dunia pada saat proses investigasi dengan tubuh penuh lebam. Dua guru JIS kemudian juga dituduh melakukan kejahatan yang sama. Saat ini, ketujuh orang tersebut divonis hukuman bersalah oleh pengadilan.

Sementara Ibu dari MAK menuntut ganti rugi ke JIS atas kejadian tersebut melalui gugatan perdata sebesar USD125 juta atau lebih dari Rp 1,6 triliun.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini