TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban
kejahatan merupakan salah satu perwujudan pemenuhan hak asasi manusia
(HAM).
Karena itulah negara harus hadir dan tidak boleh abai terhadap warganya sebagai bentuk pertanggungjawaban negara.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, penegakan dan pemenuhan HAM tidak bisa hanya dilakukan secara seremonial belaka. Apalagi, hanya disebut dalam nawacita pemerintahan saat ini tanpa diikuti kerja kongkret sebagai
penghormatan HAM.
“Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) harus diimplementasikan dalam kerja kongkret di lapangan dan dilaksanakan semua instansi pemerintahan dengan sungguh-sungguh sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing. Dengan demikian, RANHAM tidak sekadar menjadi dokumen yang menjadi bahan bacaan saja,” kata Semendawai, Sabtu (10/12).
Menurut Semendawai, LPSK yang bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak korban, termasuk dalam kasus pelanggaran HAM berat, telah memberikan layanan kepada para korban beberapa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan mengacu kepada rekomedasi Komnas HAM.
Namun, terkadang hal-hal seperti masih jarang terekspose melalui media massa
sehingga tidak terlalu terdengar.
Sebab, kata dia, yang ditunggu banyak pihak saat ini adalah terlaksananya pengadilan pelanggaran HAM masa lalu itu sendiri.
Terwujudnya pengadilan HAM dalam beberapa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang menjadi suatu hal yang ditunggu-tunggu. Karena janji penuntasan pelanggaran HAM masa lalu sudah dideklrasikan pemerintahan saat ini melalui nawacitanya.
Dengan dilaksanakannya pengadilan HAM, kata Semendawai lagi, para korban dimungkinkan untuk mengajukan tuntutan ganti rugi (kompensasi) terhadap negara yang telah gagal melindungi dan mewujudkan keadilan bagi mereka.
Sebab, mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM berat telah menderita sekian tahun tanpa ada kejelasan dan abai perhatian
dari pemerintah.